Selasa 11 Feb 2014 18:51 WIB

Produksi Kakao Terus Turun

Rep: Meiliani Fauziah/ Red: Julkifli Marbun
Buah Kakao
Foto: viber.wordpress.com
Buah Kakao

REPUBLIKA.CO.ID, Jakarta -- Pajak ekspor yang diterapkan pada komoditas kakao hanya menguntungkan segelintir pihak, termasuk perusahaan multinasional. Padahal ditinjau dari tujuannya, pemberlakuan bea keluar diharapkan akan membuat industri kakao yang masih kecil  makin bergairah. "Yang terjadi justru industri besar menjadi semakin kuat" ujar Ketua Umum Asosiasi Kakao Indonesia, Zulhefi Sikumbang, Selasa (11/2).

Ia mencontohkan apa yang dilakukan oleh Grup Petra Food. Sebelumnya kapasitas produksi hanya 40 ribu ton per tahun. Namun semenjak bea keluar diberlakukan tahun 2010, produksinya melonjak menjadi 120 ribu ton.

Kondisi serupa terjadi pada PT. Bumi Tangerang Mesindotama. Dahulu produksinya hanya mencapai 40 ribu ton per tahun. Kini jumlahnya melonjak hingga 100 ribu ton per tahun.

Setelah pajak ekspor diberlakukan, banyak eksportir yang justru beralih peran menjadi pedagang atau pengumpul. Zulhefi mengakui banyak pula industri kecil yang memilih menutup pabriknya. "Tinggal 10 persen eksportir yang masih bertahan," katanya.

Eksportir tersebut merupakan pengusaha yang memiliki jaringan distribusi antara lain Bangkok dan Malaysia. Sedangkan yang beralih peran, memilih jalan untuk mengekspor produk olahan kakao seperi cocoa butter, cocoa powder dan cocoa cake dibandingkan tetap mengekspor biji kakao.

Kondisi ini diperparah dengan kompetensi petani yang begitu minim. Petani kakao lokal dikatakan tidak pandai merawat tanaman kakao. Alhasil kapasitas produksi kakao terus menerus dari tahun ke tahun.

Dukungan yang diberikan pemerintah selama ini dikatakan kurang tepat sasaran. Apabila ingin membuat produksi melimpah, seharusnya petani diberikan fasilitas agar bisa melakukan perawatan tanaman kakao yang baik dan benar. Selama ini bantuan hanya diberikan dalam bentuk pupuk dan bibit, di mana tidak ada transfer ilmu yang dirasa lebih dibutuhkan petani.

Salah satu indikasinya ketika di lapangan terlihat petani membiarkan pohon kakao menjulang tinggi lebih dari 4 meter. Ketika pohon menjadi terlalu tinggi, maka pohon tersebut semakin rentan dihampiri hama penyakit.

Pada tahun 2010, potensi kakao mencapai 475 ribu ton. Jumlah ini menyusut di tahun 2011 hingga 2013 yang hanya mencapai 150 ribu ton. "Tahun ini diperkirakan produksi biji kakao hanya 425 ribu ton," katanya.

Padahal bila dimanfaatkan secara maksimal kapasitas produksi dari 1,5 juta hektare kebun kakao yang ada di seluruh Indonesia seharusnya mencapai 1,2 juta ton per tahun. Sebanyak 75 persen produksi dihasilkan oleh multinasional company dan bukan pengusaha lokal.

President World Cocoa Foundation, Bill Guyton mengatakan petani menjadi salah satu unsur penting untuk pengembangan bisnis kakao. Untuk itu harus dibangun kemitraan yang baik antara pengusaha, petani dan pemerintah. "Harus ada kolaborasi," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement