REPUBLIKA.CO.ID, NUSA DUA -- Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Luky Alfirman mengatakan, pengenaan subsidi tetap bahan bakar minyak (BBM) adalah salah satu opsi untuk mengendalikan alokasi belanja subsidi. Meskipun begitu, Luky mengaku belum dapat memastikan pemberlakuannya di dalam anggaran negara.
"Alternatif itu (subsidi tetap BBM) selalu ada.Kapan diterapkan dan sebagainya, itu keputusan dari pimpinan," ujar Luky kepada wartawan dalam konferensi pers acara seminar internasional bertajuk 'Avoiding the Middle Income Trap: Lesson Learnt and Strategies for Indonesia to Grow Equitably and Sustainably di Nusa Dua, Bali, akhir pekan lalu.
Senior Resident Representatif IMF di Indonesia Benedict Bingham mengusulkan agar Pemerintah Indonesia memberlakukan subsidi tetap BBM. Hal tersebut disebabkan peran dan ruang gerak kebijakan fiskal untuk mendorong pertumbuhan dalam jangka menengah sulit diharapkan mengingat besarnya subsidi energi, khususnya subsidi BBM.
Luky menjelaskan, dari sisi teori ekonomi, Indonesia masih membutuhkan subsidi.Salah satu alasannya adalah masih tingginya angka kemiskinan di Tanah Air.
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2013, jumlah penduduk miskin tercatat 11,37 persen dari total populasi atau sekira 28,07 juta orang. "Tapi pertanyaan berikut, subsidi seperti apa? Nah, selama ini, kita menerapkan subsidi BBM atau price subsidy. Itu sangat besar kemungkinan terjadi salah sasaran.Tidak ada cara pemerintah untuk membedakan siapa yang berhak dan tidak. Kemungkinan terjadi salah target atau dinikmati orang yang tidak berhak," papar Luky.
Pemiliki mobil yang notabane orang mampu dan berada di atas garis kemiskinan, kata Luky, menikmati subsidi sekira Rp 5.000 per liter. "Jika tinggal di luar Jakarta, ilustrasi saja, dia menghabiskan 200 liter per bulan. Dengan demikian, dia seolah-olah diberikan Rp 1 juta per bulan, Rp 12 juta per tahun. Padahal dia mampu," ujar Luky.
Oleh karena itu, subsidi BBM harus diubah. Akan tetapi, Luky menyadari, pemerintah pun harus realistis. Perubahan secara drastis tidak bisa dilakukan. "Karena itu, harus pelan-pelan. Kenaikan harga kemarin itu satu tahap. Ke depan ada beberapa alternatif program seperti subsidi tetap, pengendalian dengan RFID, dan lain-lain," ungkap Luky.