REPUBLIKA.CO.ID, NUSA DUA -- Rencana perusahaan minyak asal Kuwait, Kuwait Petroleum Corporation (KPC), membangun kilang 'emas hitam' di Tanah Air akhirnya musnah. Awal pekan ini, PT Pertamina (Persero) mengumumkan pengunduran diri KPC. Salah satu alasan di balik langkah KPC adalah permintaan insentif yang diminta kepada pemerintah ditolak.
Ditemui di sela-sela acara seminar internasional bertajuk 'Avoiding the Middle Income Trap: Lesson Learnt and Strategies for Indonesia to Grow Equitably and Sustainably di Nusa Dua, Bali, Kamis (12/12), Wakil Menteri Keuangan II Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro menceritakan alasan di balik penolakan institusinya memberikan insentif.
Menurut Bambang, permintaan insentif yang diminta KPC berupa tax holiday (pembebasan membayar pajak bagi pengusaha dalam masa tertentu), tidak sesuai dengan ketentuan yang ada di Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.011/2011 tentang Pemberian Fasilitas Pembebasan atau Pengurangan Pajak Penghasilan Badan yang masa berlakunya rampung 2013.
Dalam beleid tersebut, rentang waktu tax holiday maksimal 10 tahun dan setelah itu tarif pajak berlaku penuh. "Tapi mereka minta 30 tahun. Habis itu, tarifnya 5 persen. Ya nggak bisa deh," kata Bambang.
Selain itu, KPC juga meminta agar pajak daerah dibebaskan dan lahan pembangunan kilang disediakan. Permintaan selanjutnya yang menurut Bambang tidak rasional. "BBM itu kan gak ada bea masuk, karena BBM impor, masa dibikin mahal. Tapi, mereka ketika jual nanti harga BBM-nya ditambah bea masuk. Kan nggak wajar," ujar Bambang.
"Kalau saya, okelah fleksibilitas (dalam pemberian insentif) perlu. Tapi, kalau minta ya kira-kira dikit lah," tambah mantan Plt Kepala Badan Kebijakan Fiskal ini.
Sebagaimana Kuwait, pembangunan kilang juga rencananya akan dilakukan Saudi Aramco Asia Company Limited. Akan tetapi, dengan permintaan insentif yang sama dengan KPC, rasa-rasanya, perusahaan asal Arab Saudi itu pun akan mundur. Walaupun begitu, studi kelayakan masih dilakukan oleh Saudi Aramco.
"Dia (Saudi Aramco) bilang akan masuk dengan fasilitas yang sama dengan Kuwait. Kuwait gak diterima. Sekarang Saudi silakan define (dipertegas) maunya apa," kata Bambang.
Lelang Terbuka
Untuk mengatasi permasalahan yang ada terkait pembangunan kilang, Bambang menyebut pemerintah akan segera menggelar lelang terbuka. Market sounding akan segera dilakukan sehingga diharapkan lelang bisa dimulai 2014. Lelang akan dijalankan lewat dua cara yakni lelang lewat usulan yang datang dari pemerintah dan lelang lewat usulan yang datang dari swasta atau investor.
Dari sisi pemerintah, Bambang menjelaskan pemerintah akan menyediakan aspek-aspek yang dibutuhkan dalam pembangunan kilang seperti lahan maupun fasilitas-fasilitas lain. "Yang terbaik itu yang menang. Istilahnya solicited," ujar Bambang.
Sedangkan cara kedua adalah investor yang menawarkan lahan, ketersediaan minyak mentah dan fasilitas lainnya untuk membangun kilang. "Seperti KPC. Tapi, lebih clear. Jangan tanah nggak punya, minta (insentif) banyak. Kemudian kita terima investornya dan ada investor yang kedua dan ketiga. Kita tandingin semua dan siapa yang mintanya paling sedikit, dia yang menang," kata Bambang.
Lebih lanjut, Bambang menjelaskan, untuk mendorong pembangunan kilang lebih feasible, pemerintah memiliki solusi. Salah satunya adalah dengan mengintegrasikan kilang minyak dengan kilang petrokimia. Tujuannya untuk meningkatkan pengembalian investasi (return of investment/ROI) yang ujung-ujungnya diharapkan membuat investor terkait seiring tambahan margin keuntungan. "Sehingga, kita juga gak terbebani dengan (permintaan) yang aneh-aneh," kata Bambang.
Sebenarnya, pembangunan kilang diharapkan dapat mengurangi impor minyak yang terus mengalami peningkatan. Untuk 2013 saja, impor minyak oleh Pertamina menyedot 150 juta dolar AS atau sekira Rp 1,65 triliun untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), impor minyak Januari-September 2013 mencapai 31,305 miliar dolar AS. Perinciannya, impor minyak mentah 10,261 miliar dolar AS dan hasil minyak 21,044 miliar dolar AS.