REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Erani Yustika menilai bahwa Indonesia saat ini mengalami 11 masalah pokok ekonomi.
Ia mengakui, Indonesia memang mendapat banyak pujian di dunia internasional. Indonesia dipuji karena mengalami pertumbuhan ekonomi yang relatif stabil. Tetapi kalau di dalam negeri, Indonesia mendapat banyak cacian karena hasil pencapaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi ternyata diiringi dengan ketidakadilan ekonomi.
‘’Ini karena ada 11 masalah pokok yang kini tengah dialami Indonesia,’’ katanya saat di diskusi panel Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dengan tema 'Membangun Ekonomi Nasional yang Kokoh' di Malang, Jawa Timur (Jatim), Senin (9/12).
Masalah pertama yaitu kesejahteraan rakyat semakin menurun. Dia tidak menampik pendapatan masyarakat Indonesia memang semakin lama semakin meningkat. Bahkan, golongan masyarakat yang paling miskin pendapatannya naik sebanyak sembilan persen. Namun inflasi harga pangan seperti beras mengalami kenaikan rata-rata sekitar 20 persen. ‘’Jadi kesejahteraan masyarakat secara riil turun akibat dihajar inflasi pangan,’’ ujarnya.
Masalah kedua yaitu pengelolaan dan mislokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dia menyebutkan, APBN banyak dihabiskan untuk subsidi energi sebesar 20 persen dan belanja modal sebesar 30 persen. Sementara itu, masalah ketiga yaitu ketimpangan kesejahteraan yang semakin meluas.
Masalah keempat yaitu ancaman kedaulatan pangan karena 40 persen irigasi pertanian rusak parah. Persoalan kelima adalah kedaulatan energi. Namun bukan karena tidak memiliki sumber daya energi, baik yang bisa diperbarui maupun tidak dapat diperbarui. ‘’Tetapi kebijakan pemerintah yang tidak bisa menciptakan kemandirian energi,’’ tuturnya.
Persoalan keenam yaitu kebijakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang tidak jelas arahnya. Dia menilai BUMN memiliki aset Rp 3.000 triliun.Seharusnya dengan aset sebesar itu, pemerintah memiliki peran besar untuk mengendalikan ekonomi, baik melalui BUMN maupun APBN. Tetapi faktanya ketika negara-negara lain mengalami masalah ekonomi seperti Jepang, ternyata membuat Indonesia ikut terkena imbasnya. Masalah pokok ketujuh yaitu jebakan liberaliasi.
Dia menyebutkan, seharusnya saat Indonesia menjadi ketua G33 di forum organisasi perdagangan dunia (World Trade Organization/WTO), Indonesia memperjuangkan agenda negara-negara berkembang yaitu subsidi pertanian. Indonesia sendiri memiliki agenda memperjangkan subsidi yang semula 10 persen menjadi 15 persen yang diterapkan dengan waktu yang tidak terbatas.
‘’Tetapi Indonesia malah membujuk India melunak terkait negosiasi subsidi pertanian dan mau menuruti keinginan negara-negara besar,’’ kata guru besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya ini.
Belum lagi industri Indonesia yang rapuh karena menerapkan bea impor yang lebih rendah dibandingkan negara lain. Selain itu, transaksi neraca pedagangan, baik migas maupun non migas pada tahun 2013 mengalami defisit. Persoalan kedelapan yaitu investasi domestik makin terpinggirkan.
Dia menyebutkan, perkembangan investasi dalam negeri (PMDN) nyaris nol. Dia menyebutkan, proporsi investasi penanaman modal asing (PMA) sebesar 70 persen, dan PMDN sebesar 30 persen.
‘’Masalah kesembilan yaitu perkembangan infrastruktur. Anggaran infrastruktur Indonesia hanya 2,1 persen. Padahal anggaran infrastruktur yang disepakati dalam konsensus internasional minimal 5 persen, bahkan di Cina 9 persen,’’ ujarnya.
Tidak hanya itu, waktu tunggu bongkar muat kapal (dwelling time) Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara selama enam hari, padahal di Singapura hanya satu hari. Dia menyebutkan, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko Perekonomian) Hatta Rajasa pernah marah dan menginstruksikan pejabat terkait untuk menyelesaikan masalah tersebut. Tetapi setelah dicek dua pekan kemudian, ternyata dwelling time di Pelabuhan Tanjung Priok bertambah lama menjadi delapan hari.
Persoalan ke sepuluh yaitu daya saing industri semakin keropos. Dalam lima tahun terakhir, sumbangan industri hanya 23 persen atau mengalami penurunan sebanyak 5 persen.
Sedangkan masalah pokok kesebelas atau terakhir yaitu kerapuhan sektor perbankan. Dia menyebutkan, persentase pembiayaan kredit dari bank untuk usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) di Indonesia hanya 21 persen. Padahal Malaysia bisa mencapai 30 persen. Selain itu dia menilai bank mengambil keuntungan yang terlalu tinggi. ‘’Rendahnya akses pembiayaan kredit dari bank untuk UMKM Indonesia membuat sektor riil usah bergerak,’’ ujarnya.