REPUBLIKA.CO.ID, JEDDAH -- Aset perbankan syariah di negara-negara yang tergabung dalam Dewan Kerjasama Teluk (GCC) diprediksi mencapai 515 miliar dolar AS pada akhir 2013. Sebanyak 452 miliar diantaranya merupakan kontribusi dari Arab Saudi.
Berdasarkan laporan Ernst & Young, aset perbankan syariah di GCC pada akhir 2012 sebesar 154 miliar dolar AS. Aset tersebut berasal dari Bank Umum Syariah (BUS) maupun Unit Usaha Syariah (UUS). Pertumbuhan industri keuangan syariah GCC berada di kisaran 15 persen pertahun, lebih cepat dari pertumbuhan aset perbankan konvensional.
Di pasar GCC, Arab Saudi adalah pemain dominan dengan aset sekitar 245 miliiar dolar AS pada 2012. Diikuti Uni Emirat Arab (UEA) dengan aset 80 miliar dolar AS dan Qatar dengan 53 miliar dolar AS.
Bank-bank syariah terkemuka di GCC mereposisi neraca bisnis mereka menyusul terjadinya krisis keuangan global pada 2008. Mereka mencari upaya memperluas cakupan lokal menjadi regional karena pendapatan dari pasar tersebut lebih besar.
"Ada enam pasar yang secara sistemik penting bagi internasionalisasi masa depan industri perbankan syariah, yakni Arab Saudi, Malaysia, Uni Emirat Arab, Qatar, Indonesia dan Turki," kata Mitra Pusat Keunggulan Perbankan Syariah Global Ernst & Young, Ashar Nazim seperti dikutip The Saudi Gazette, Senin (25/11).
Nazim mengatakan industri keuangan syariah baru-baru ini mengalami perlambatan disebabkan oleh dua faktor, yakni kemunduran ekonomi dan politik. Kedua hal tersebut terjadi di beberapa pasar besar keuangan syariah sehingga berdampak buruk dan memberikan sentimen negatif pada bisnis secara keseluruhan.
Dia menyebut kemajuan industri keuangan syariah bukanlah tanpa tantangan. "Transformasi teknologi besar-besaran menjadi pertimbangan penting bagi bank-bank syariah yang berniat menjadi mainstream di pasar masing-masing," ucapnya.