Jumat 15 Nov 2013 13:44 WIB

Bank Dunia: Negara Asia Tenggara Terkena Dampak Tapering AS

Presiden Bank Dunia, Jim Yong Kim
Foto: voaindonesia.com
Presiden Bank Dunia, Jim Yong Kim

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Bank Dunia Jim Yong Kim menyatakan sejumlah negara di kawasan Asia Tenggara terdampak dari pengumuman akan dilakukannya tapering atau penundaan pemberian stimulus Fed (Bank Sentral AS).

"Negara lainnya yang terdampak oleh pengumuman potensi terjadinya tapering kebijakan QE (quantitative easing), khususnya negara Thailand, Malaysia, dan Indonesia," kata Jim Yong Kim dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Jumat (15/11).

Menurut dia, selain dipengaruhi dampak tapering, keluarnya arus modal dari negara-negara tersebut juga didasari kelemahan dasar seperti adanya permasalahan defisit transaksi berjalan dan defisit fiskal yang relatif tinggi yang mesti dihadapi oleh mereka. Ia juga menyatakan bahwa rata-rata telah terjadi kenaikan dalam tingkat suku bunga di negara-negara itu dalam merespon dampak dari pengumuman tapering.

Ia berpendapat bahwa saat tapering benar-benar terjadi, maka tingkat suku bunga diperkirakan akan terus naik dan mengakibatkan persoalan di negara-negara berkembang. Sebagaimana diketahui, Bank Indonesia juga telah mengumukan kenaikan tingkat suku bunga acuan atau BI rate sebesar 25 basis poin dari 7,25 persen menjadi 7,5 persen saat ini atau tertinggi sejak 2009.

Menurut Bank Indonesia, hal itu dilakukan dengan mempertimbangkan masih besarnya defisit transaksi berjalan di tengah risiko ketidakpastian global yang tinggi. Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Difi A Johansyah di Jakarta, Selasa (12/11), mengatakan Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 12 November 2013, juga memutuskan untuk menaikkan suku bunga Lending Facility dan suku bunga Deposit Facility masing-masing naik menjadi 7,5 persen dan 5,75 persen.

"Dengan demikian, keputusan ini diambil untuk memastikan bahwa defisit transaksi bejalan menurun ke tingkat yang lebih sehat dan inflasi tetap terkendali menuju ke sasaran 3,5-5,5 persen pada 2014 sehingga tetap dapat mendukung kesinambungan pertumbuhan ekonomi," ujar Difi di ruang pers BI Jakarta.

Sebelumnya, Fed pada 30 Oktober 2013 memutuskan untuk mempertahankan program stimulusnya tak berubah seperti yang diharapkan, namun mengatakan bahwa kebijakan fiskal pemerintah AS menghambat perekonomian.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement