Jumat 08 Nov 2013 08:06 WIB

Open Access Bisa Berjalan Jika Trader Hilang

Open Access (ilustrasi)
Foto: OPEN-ACCESS.ORG.UK
Open Access (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro berpendapat 'open access' pipa gas harus didukung sikap tegas pemerintah dalam menggatur industri migas, baik itu di hulu maupun di hilir.

Menurutnya, banyaknya permasalah migas karena pemerintah belum dapat bertindak tegas dalam mengatur industri migas nasional. Seharusnya, sebelum menerapkan aturan 'open access' pipa gas, pemerintah harus membenahi industri migas baik itu di hilir maupun di hulu.

"Open access pipa gas itu bisa berjalan jika trader yang selama ini banyak bergentayangan, dapat hilang," terang Komaidi kepada wartawan, Kamis (7/11).

Ia berkata, jika pemerintah gegabah menerapkan 'open access' pipa gas tanpa melakukan pembenahan secara menyeluruh, maka nantinnya yang akan menikmati hasil dari usaha hilir migas hanya trader. Menurut Komaidi, percuma saja pemerintah memberlakukan 'open access' pipa gas bila tidak ada pembenahan.

"Semestinya pemerintah menerapkan dua syarat ketika swasta ingin berbisnis gas. Pertama, mereka harus memiliki infrastruktur. Kedua, swasta harus memiliki pasokan gas di hulu yang berkesinambungan," ujar Komaidi.

Sejatinya yang melakukan penjualan gas kepada konsumen adalah perusahaan yang memiliki gas. Seperti Pertamina EP, Medco Energy atau Chevron. "Bukan para trader yang memiliki izin niaga tidak berfasilitas," tegas Komaidi.

Komaidi menyarankan, ketika PGN ingin terjun ke bisnis di penjualan gas, maka mereka harus masuk ke sektor hulu juga. Data ReforMiner menunjukkan 90 persen dari 60 perusahaan trader gas di Tanah Air tidak memiliki infrastruktur.

"Nah, perusahaan swasta tersebut hanya berperan sebagai broker, membeli gas pada produsen di hulu dan menggunakan infrastruktur pihak lain. Kemudian menjualnya kepada end user di hilir. Hal ini membuat struktur pasar gas nasional menjadi negatif, sehingga mengakibatkan tata niaga gas berbiaya tinggi," tuturnya.

Menurut Komaidi, bila pemerintah jadi menerapkan open access, maka puluhan trader gas bakal menggunakan infrastruktur gas yang sudah eksisting, seperti milik PT PGN (Persero) Tbk. Dan tentu akan merugikan pemilik infrastruktur. Pihak swasta sendiri merasa keberatan membangun infrastruktur, karena khawatir terjadi 'tabrakan' dengan jaringan pipa gas eksisting milik PGN. Selain itu, biaya investasi infrastruktur yang tinggi.

"Bila pemerintah bersikukuh menerapkan open access, solusinya pemilik pipa gas mengupgrade jaringan pipanya. Dan biaya upgrading tersebut nantinya dibebankan ke komponen toll fee, yang disepakati antara pemerintah, pemilik pipa, dan trader. Penyesuaian toll fee ini bentuk wajar dibandingkan swasta membangun jaringan pipa gas mereka," tutupnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement