REPUBLIKA.CO.ID, PONTIANAK -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengakui hingga kini koperasi belum termasuk dalam lembaga keuangan nonbank yang diawasi dan diatur oleh lembaga tersebut. "Kemungkinan pada tahun 2015, ketika lembaga keuangan nonbank berupa lembaga keuangan pembiayaan, masuk dalam pengawasan OJK," kata Kepala Bagian Informasi OJK, Eko Ariantoro saat edukasi dan sosialisasi produk dan jasa keuangan serta perlindungan konsumen di Pontianak, Kamis (7/11).
Ia mengakui, hingga kini koperasi tidak menjadi bagian yang diawasi oleh OJK meski koperasi terus tumbuh dan berkembang di Indonesia termasuk di Kalbar, salah satunya credit union (CU). Menurutnya, kondisi saat ini koperasi simpan pinjam misalnya tidak hanya melibatkan kalangan anggota. "Terjadi perubahan-perubahan di dalam koperasi, sehingga terus tumbuh dan asetnya bertambah," kata dia.
Namun, lanjut dia, pihaknya juga ingin melindungi konsumen terhadap semakin beragamnya produk jasa dan keuangan di Indonesia. "Tetapi, kalau koperasi ikut memungut dana pihak ketiga, kemudian menyalurkan ke pihak ketiga, sepatutnya juga diawasi oleh OJK," ujarnya.
Hal itu tidak berlaku kalau pungutan maupun penyaluran dana hanya di kalangan anggota. Sesuai dengan prinsip koperasi 'dari, oleh dan untuk anggota'.
Anggota Komisi XI DPR RI, Dolfie mengatakan, OJK dibentuk untuk menghadapi industri jasa keuangan yang semakin besar nilainya dan canggih bentuk pelayanannya. "Dibutuhkan pengawasan yang terintegrasi," kata Dolfie dari anggota Fraksi PDI Perjuangan DPR RI daerah pemilihan Kalbar itu.
Ia mengungkapkan, nilai aset yang dikelola di industri jasa keuangan di Indonesia saat ini berkisar Rp 5 ribu triliun. Angka tersebut lebih besar dibanding APBN yang nilainya berkisar Rp 1.800 triliun dan cadangan devisa di Bank Indonesia sekitar Rp 1.000 triliun.
"Kalau terjadi apa-apa dengan industri keuangan Indonesia, uang di APBN maupun cadangan devisa kita tidak akan mencukupi sehingga dibutuhkan pengawasan yang ketat," tutur Dolfie.