REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perbankan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) harus meningkatkan efisiensi agar dapat bersaing dengan bank swasta di Indonesia. Persaingan bisnis perbankan semakin ketat dalam meningkatkan laba dan pendapatan operasional di tengah situasi ekonomi yang sedang melambat.
Saat ini terdapat 120 bank di Indonesia. Dari angka tersebut, hanya terdapat empat bank BUMN, yakni PT Bank Rakyat Indonesia, Tbk (BRI), PT Bank Mandiri, Tbk, PT Bank Negara Indonesia, Tbk (BNI) dan PT Bank Tabungan Negara, Tbk (BTN). Meskipun jumlah bank BUMN hanya empat, kontribusinya signifikan. Pada 2012, bank BUMN memiliki kontribusi dividen sebesar Rp 7,5 triliun.
Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Hadi Purnomo, mengatakan faktor utama bagi bank BUMN untuk bertahan adalah dengan lebih efisien. "Penilaian kinerja suatu bank adalah salah satu cara untuk melihat efisiensi," ujar Hadi dalam Simposium Internasional mengenai Efisiensi Kantor Cabang Bank BUMN, Kamis (31/10).
Penilaian kinerja, menurutnya, berguna bagi manajemen bank, pembuat kebijakan, investor dan auditor. Bagi manajemen bank, menilai kinerja tak hanya membantu pimpinan bank tetapi juga memahami efektivitas. Bagi pembuat kebijakan, penilaian kinerja membantu membangun lingkungan yang sehat pada dunia perbankan serta dalam merumuskan kebijakan baru.
Sedangkan bagi investor, penilaian kinerja berfungsi untuk mengetahui seberapa baik kinerja bank sebelum mereka memutuskan untuk berinvestasi. Bagi auditor, hal tersebut memungkinkan auditor memberikan rekomendasi pada pimpinan bank mengenai keputusan finansial yang lebih baik.
Anggota BPK, Bahrullah Akbar, mengatakan untuk saat ini perbankan efisiensinya baik dan dapat ditoleransi. "Tapi ini jadi tantangan bagi direksi untuk meningkatkan efisiensi," ujar dia.
Menurutnya, manajemen bank harus hati-hati agar tidak menimbulkan inefisiensi. Ia mengatakan investasi bisa dalam bentuk belanja modal dan pelaksanaan peningkatan SDM. "Inefisiensi dapat terjadi pada belanja modal. Karena itu, ini yang mesti hati-hati pihak manajemen," tambah Bahrullah.
Deputi Gubernur BI, Halim Alamsyah, mengatakan efisiensi adalah hasil akhir dari serangkaian kebijakan regulasi kinerja bank. "Kita harus lihatnya secara lengkap. Kita harus lihat juga lingkungan bank tersebut beroperasi di dalam suatu negara," ujarnya.
Kondisi perekonomian global dan domestik pun menjadi bagian yang harus diperhatikan untuk menilai keefisiensian suatu bank. Halim mengatakan, Indonesia relatif kurang efisien dibandingkan negara lainnya di satu kawasan. Indikator efisiensi perbankan adalah rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional.
Per Agustus 2013, BOPO perbankan nasional tercatat sebesar 74,06 persen. Menurutnya, secara umum rasio di bawah 80 persen sudah cukup baik. Di sisi lain, Return on Assets (ROA) perbankan Indonesia lebih tinggi dibandingkan negara-negara ASEAN, Cina dan India. ROA perbankan Indonesia per Agustus 2013 adalah 3,03 persen.
"Ini aneh. Efisiensi tidak terlalu bagus tapi keuntungannya tinggi. Dalam jangka panjang, efisiensi di perbankan Indonesia cenderung membaik tapi tidak cepat," ungkap Halim.
Halim mengatakan, di Indonesia, bank-bank memiliki inovasi yang cukup tinggi dalam penghimpunan dana. "Masyarakat kita masih suka iming-iming bunga, hadiah, jadi kompetisinya ketat berebut dana," ujar dia.
Hal tersebut mengakibatkan sulitnya menurunkan biaya dana sehingga membuat bunga kredit lebih tinggi dibanding negara lain. Masih relatif tingginya BOPO di Indonesia, menurut Halim, disebabkan oleh kondisi perbankan Indonesia dengan jumlah aset masih relatif kecil dan masih dalam tahap ekspansi. Pengembangan usaha pun masih memerlukan beban investasi yang relatif tinggi seperti IT, pembukaan kantor cabang baru dan produk baru. Selain itu, biaya tenaga kerja profesional pun masih tinggi.