Selasa 08 Oct 2013 15:26 WIB

Investasi Sektor Kehutanan Tak Terhambat Moratorium

Rep: Meiliani Fauziah/ Red: Nidia Zuraya
Kehutanan - ilustrasi
Kehutanan - ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dampak nyata perubahan iklim mulai terlihat nyata, diantaranya banjir yang lebih sering dan besar, kekeringan, kelaparan, serta runtuhnya hutan Amazon. Ancaman lainnya yaitu punahnya 20 hingga 50 persen seluruh rumpun makhluk hidup dan meningkatnya permukaan laut akibat lapisan es yang meleleh.

Di Indonesia khususnya, hampir 100 juta manusia menggantungkan hidupnya kepada jasa lingkungan dan ekosistem. Maka upaya konservasi dan perlindungan hutan perlu menjadi prioritas. Tanpa dukungan tersebut, kebudayaan dan pengetahuan asli mengenai hutan akan terancam punah.

Bagi Indonesia tidak ada pilihan lain kecuali melanjutkan moratorium pemberian izin baru pengusahaan hutan dan lahan gambut. Berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2013, moratorium berlaku bagi penggunaan hutan alam primer dan lahan gambut yang berada di hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi. "Terbukti dengan moratorium tersebut, laju deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia berhasil ditekan secara signifikan, sekaligus kawasan konservasi hutan terjaga," kata Menteri Kehutanan (Menhut) Zulkifli Hasan pada peluncuran buku "Menuju Nol, Satu Dekade Kampanye Greenpeace Untuk Hutan Indonesia," Selasa (8/10).

Dibandingkan tahun 1996 sampai dengan 2003, rata-rata laju deforestasi mencapai 3,5 juta hektare (ha) per tahun. Berdasarkan data Kemenhut, laju deforestasi tinggal 15 persen, menjadi hanya 450 ha saja.

Menhut pun optimis pemberlakuan moratorium masih akan memberikan dampak yang lebih besar. Apalagi keberadaan moratorium dibuktikan tidak menghambat investasi di sektor kehutanan. Investasi tetap dapat dilakukan di lahan-lahan hutan yang krirtis seiring dengan tata kelola hutan yang berkelanjutan. Investasi hutan-hutan alam primer yang dimoratorium dilakukan melalui jasa lingkungan hutan seperti ekowisata, jasa tata air, jasa keanekaragaman hayati, jasa penyimpanan dan penyerapan karbon.

Baru-baru ini, komitmen untuk pemberantasan kayu ilegal melalui Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) mulai membuahkan hasil. Lebih dari 700 industri kini telah memperoleh Sertifikat Legalitas Kayu (SLK). Dunia internasional pun mengapresiasi dengan menyetujui penandatanganan Voluntary Partnership Agreement (VPA) dengan Uni Eropa (UE) pada 30 September 2013 di Brussels. Perkembangan ekspor industri kehutanan berdasarkan penerbitan dokumen V-legal sampai 23 September 2013 telah mencapai 4,203 miliar dollar AS atau lebih dari Rp 46 triliun.

 

Kepala Juru Kampanya Hutan Greenpeace Indonesia, Bustar Maitar mengatakan laju deforestasi harus ditekan hingga di titik nol. Apalagi mengingat 20 persen emisi gas rumah kaca global disumbang dari deforestasi. "Tiga negara penyumbang deforestasi hutan terbesar yaitu Indonesia, Brazil dan Kongo," katanya.

Industri kehutanan dan pembangunan ekonomi tidak harus dilakukan dengan mengorbankan hutan, satwa dan masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari hutan. Negara maju juga bisa membantu dengan tidak menjadi penampung barang ilegal termasuk kayu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement