REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Faktor kepemimpinan yang mumpuni merupakan unsur esensial dalam berhasil atau tidaknya tata kelola energi. Di Indonesia tata kelola energi, khususnya di sektor migas, belum baik.
Direktur Eksekutif Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto berpendapat, faktor itu merupakan unsur tidak terbantahkan dalam pengelolaan migas. ''Dengan tata kelola seperti sekarang ini, terbukti tidak jalan,'' kata dia pada Seminar Menciptakan Kebijakan Energi yang Berorientasi pada Ketahanan Energi Nasional, Jakarta, Senin (30/9).
Menurut Pri, defisit neraca perdagangan terutama adalah karena tingginya impor migas dan itu sudah berlangsung beberapa tahun. Untuk menekan impor bahan bakar minyak (BBM), kata dia, ada sejumlah jalan. Diantaranya, membangun kilang dan memperbaiki alat transportasi publik.
Semua itu, lanjut Pri, merupakan solusi jangka panjang. Tetapi, untuk jangka pendek seperti tidak ada jalan keluarnya. Begitu pula paket kebijakan pemerintah baru-baru ini terbukti sama sekali tidak mampu menekan impor, khususnya impor BBM.
Dia menerangkan, Mckenzi memprediksi Indonesia akan menjadi negara paling prospektif untuk penjualan BBM. Kesimpulan itu tentu didasarkan pada ketiadaan usaha serius mengurangi impor.
Pri menjelaskan, kepemimpinan yang baik sekaligus pemberian arahan yang jelas berperan besar atas kemajuan sektor energi. Ke depan, ujarnya, harus diperjelas apakah pengelolaan migas secara mandiri atau dengan bantuan asing. Apabila bekerja sama dengan asing, harus mampu menjadi fasilitator yang baik. ''Jangan setengah-setengah, nanti seperti poco-poco,'' tegas dia.