Jumat 27 Sep 2013 12:57 WIB

Bank Nagari Kejar Aset Rp 17 Triliun

Rep: Meiliani Fauziah/ Red: Nidia Zuraya
Bank Nagari
Foto: sungaitanang.blogdetik.com
Bank Nagari

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Bank Pembangunan Daerah Sumatera Barat atau Bank Nagari menargetkan perolehan aset sebesar Rp 17 triliun di tahun ini. Upaya perolehan target antara lain melalui kerja sama refinancing Kredit Perumahan Rakyat (KPR). Salah satunya kerja sama refinancing KPR bersama PT Sarana Multigriya Finansial (Persero) atau SMF sebesar Rp 50 miliar untuk masa satu tahun.

Direktur Utama Bank Nagari, Suryadi Asmi mengatakan aset yang terdapat saat ini sebesar Rp 15,9 triliun. Aset tersebut diperoleh dari kredit komersil sebesar Rp 12,2 triliun dan dana masyarakat yang dihimpun sebesar Rp 12,8 triliun. "Di Sumatra Barat, market share kami mencapai 30 persen," ujarnya usai penandatanganan perjanjian refinancing oleh SMF, Jumat (27/9).

Dibandingkan dengan Bank Pembangunan Daerah (BPD) lainya, menurut Suryadi, Bank Nagari memegang peran dominan di masyarakat. Di samping itu, mayoritas pemegang saham BPD merupakan pemerintah provinsi kota dan kabupaten ditambah pemilik saham.

Suryadi mengatakan bahwa pembiayaan perumahan bukan hal baru bagi Bank Nagari. Pihaknya telah memberikan pembiayaan untuk sektor perumahan sejak tahun 1980. "Pertumbuhan kita berada di kisaran 20 persen, baik kredit maupun dana," katanya.

Sementara Direktur SMF Raharjo Adisusanto berharap kerja sama ini membuka kesempatan bagi bank-bank daerah lain untuk bersinergi bersama SMF. Ia melihat bank daerah memiliki potensi besar untuk memberikan pembiayaan perumahan yang prioritasnya untuk masyrakat berpenghasilan menengah kebawah.

Sampai saat ini SMF telah menyalurkan KPR untuk 11 bank. Tahun ini SMF memasang target pembiayaan atau penyaluran pinjaman sebesar Rp 2,5 triliun. "Saya optimis untuk memenuhi target, semoga bisa dikejar kekurangan di semester terakhir," katanya.

Dalam kesempatan yang sama, SMF juga mengumumkan penundaan penerbitan surat utang jangka menengah dan obligasi. Penundaan ini dikatakan menyesuaikan dengan kondisi ekonomi Indonesia, dimana ada kenaikan bahan bakar minyak (BBM) dan meningkatnya inflasi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement