Kamis 26 Sep 2013 16:02 WIB

Liberalisasi Pangan Serbu Indonesia

Rep: Meiliani Fauziah/ Red: Nidia Zuraya
Stok Pangan (Ilustrasi)
Foto: BERITA JAKARTA
Stok Pangan (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Koalisi Anti Utang (KAU), Dani Setiawan mengatakan bahwa derasnya impor pangan seiring dengan ketiadaan lembaga  negara yang mengatur pangan. Selain itu, pembebasan impor pangan sejauh ini tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap penuruan harga. "Contoh, harga daging dan kedelai masih tinggi, meskipun impor pangan sudah dibebaskan dari kuota," katanya dalam diskusi bertajuk 'Politik Pangan SBY: Kartel Disuburkan, Rakyat Dikorbankan', Kamis (26/9).

Ia melihat bahwa saat ini Indonesia berhadapan dengan dunia dalam mendorong liberalisasi pangan. Kesepakatan yang terjadi dalam forum internasional, termasuk APEC, mengarahkan agar Indonesia secara progresif menurunkan kebijakan tarif. Selama ini hanya komoditas pertanian yang tarifnya masih tinggi, sebesar 12 persen. Sementara barang-barang lain, termasuk manufaktur, tarifnya rata-rata hanya 5,7 persen.

Apabila kedaulatan pangan tidak segera dijadikan prioritas, maka swasembada pangan dipastikan sebatas angan. Selama ini masalah pangan yang terjadi bukan akibat petani tidak mampu menanam gandum atau kedelai dalam jumlah yang cukup. Namun, ada dorongan dari produsen pangan multinasional agar Indonesia sekedar menjadi pasar bagi produk perusahaan-perusahaan pangan. "Sejak liberalisasi paska IMF, negara tidak punya lagi kekuatan untuk menghadapi intervensi oleh perusahaan multinasional," lanjutnya.

Pemerintah perlu melakukan pembenahan terkait pengan dengan menentukan prioritas yang tepat. Tanpa langkah strategis, banjirnya impor pangan akan terus menggerogoti devisa negara tanpa batas.

Selain itu pemerintah diminta untuk mengkaji ulang Undang-undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani agar lebih adil bagi petani. Pasalnya, peraturan tersebut dinilai tidak mejawab masalah utama dalam sektor pertanian, yaitu keterbatasan lahan. "Kalau dibiarkan, konsekuensinya, kewajiban negara menjadi gugur dalam upaya menyediakan pangan untuk didistribusikan pada petani," ujar penggugat somasi terhadap SBY tentang kebijakan reforma agraria, Gamawan, dalam diskusi yang sama. 

Dalam peraturan tersebut disebutkan, bahwa petani dapat menyewa lahan untuk ditanami tanaman pangan. Artinya, petani harus mengeluarkan biaya sewa. Apabila hal ini diterapakan, khawatir sistem renternir tanah akan kembali eksis di negara ini.

Berdasarkan amanat kontistusi, alat produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Namun hal ini bukan berarti pemerintah menjadi pemilik, termasuk lahan, yang seharusnya dikelola untuk kemakmuran rakyat.  "Negara tidak boleh menyewakan tanah, karena negara tidak mempunyai tanah," lanjut Gamawan.

Pemerintah bisa bertindak lebih bijaksana dengan cara lain selain sewa. Misalnya dengan menerapakan konsolidasi tanah atau petani dipersilakan menggunakan tanah yang selama ini dibiarkan terlantar. 

Lebih lanjut, ia membernarkan bahwa krisis pangan yang terjadi selama ini menurut dia juga bukan bersumber pada kegagalan produksi. Namun kenaikan harga pangan tidak lagi bisa dijangkau, serta tidak adanya perlindungan yang dilakukan perusahaan pangan.

Disamping itu, pemerintah dinilai gagal mengatasi konflik agraris. Dalam dua periode pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tercatat 941 orang petani yang ditangkap sehubungan dengan konflik agraria. Selain itu terdapat pula 44 orang meninggal akibat kekerasan yang terjadi ketika negara mencoba menyelesaikan konflik.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement