Selasa 24 Sep 2013 17:17 WIB

IPA: Tinjau Ulang Kebijakan Pajak Eksplorasi Migas

Ladang Migas
Ladang Migas

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Perminyakan Indonesia (IPA) menilai kebijakan fiskal mengenai pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) kepada kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) eksplorasi hulu minyak dan gas bumi (migas) dianggap tidak sejalan dengan keinginan pemerintah untuk lebih menggiatkan aktivitas eksplorasi di Indonesia. "Ini merupakan suatu keprihatinan dari pengusaha di sektor hulu migas," ujar Presiden IPA, Lukman Mahfoedz, di Jakarta, Selasa (24/9).

 

Lukman menuturkan, pada akhir Juni 2013, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah mengeluarkan tagihan PBB untuk tahun 2012 dan 2013 terhadap 15 perusahaan hulu migas yang mengoperasikan 20 blok explorasi offshore (lepas pantai) dengan jumlah yang sangat besar, mencapai total Rp 2,6 triliun. Besarnya PBB berkisar antara Rp 40 miliar hingga Rp 190 miliar per blok. "Jumlah PBB ini bahkan melebihi anggaran untuk kegiatan eksplorasi di blok itu sendiri," ungkapnya. 

Penghitungan dan pengenaan PBB oleh DJP ini, menurut Lukman, diterapkan terhadap perusahaan-perusahan yang saat ini aktif melakukan eksplorasi migas, khususnya yang beroperasi pada wilayah kerja lepas pantai yang kontraknya ditandatangani pascaberlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010. DJP, sambung dia, menganggap bahwa perusahaan-perusahaan migas tersebut harus membayar PBB dengan memperhitungkan seluruh luas wilayah kerja lepas pantai walaupun belum dimanfaatkan seluruhnya. 

"Harus diakui ukuran dan besaran dari blok eksplorasi bisa sangat luas, hingga ribuan km persegi, bahkan ada yang lebih luas dari pulau sekitarnya. Namun akan sulit apabila pengusaha migas harus membayar PBB tahunan tersebut padahal eksplorasi belum tentu berhasil dan walaupun berhasil, area yang dimanfaatkan juga akan sebagian kecil dari wilayah tersebut," paparnya.

Padahal, lanjut Lukman, kegiatan eksplorasi di bidang migas merupakan tahap awal dari rangkaian panjang produksi minyak dan gas dengan risiko yang sepenuhnya ditanggung oleh KKKS tersebut. "Belum ada kepastian apakah ada penemuan cadangan minyak dan gas yang komersial, yang bisa dikembangkan secara ekonomis," kata dia.

Ia mencontohkan, dalam kurun waktu 2009-2012 ada sekitar 12  perusahaan  yang tidak berhasil menemukan cadangan minyak dan gas bumi secara ekonomis untuk eksplorasi offshore deep water dengan jumlah  dana yang telah dikeluarkan sebesar 2 miliar dolar AS (lebih dari Rp 20 triliun). Sementara reserve replacement ratio minyak di Indonesia tahun 2012 hanya 52 persen. "Artinya cadangan minyak baru yang ditemukan di tahun 2012 hanya bisa mengganti 52 persen produksi minyak tahun 2012," ujarnya. 

Sedangkan realisasi pengeboran sumur eksplorasi tahun 2012 hanya 50 persen dari Rencana Kerja dan Anggaran tahun 2012. Untuk tahun 2013, tambah Lukman, realisasi pengeboran sumur eksplorasi diperkirakan sekitar 50 persen dari target yang direncanakan. 

Untuk itu, menurut Lukman, IPA sangat mengharapkan agar pemerintah dapat meninjau kembali kebijakan fiskal PBB di kegiatan eksplorasi. "Pemerintah dirasa perlu untuk meningkatkan iklim investasi dan situasi yang kondusif untuk mendorong pengusaha hulu migas agar lebih aktif dalam kegiatan eksplorasi migas, utamanya di lepas pantai dan frontier area," tuturnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement