REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah dianggap ingkar dalam mengusahakan pembaruan agraria. Hal ini salah satunya bisa dilihat dari dibukanya impor pangan dengan begitu lebar. Hampir semua kesepakatan internasional yang dijalin pun mengarahkan agar bangsa ini sekedar menjadi pasar komoditas pertanian. "Tinggal tunggu waktu dimana hampir semua komoditas pangan dibebaskan volume pemasukannya," ujar Ketua Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin, Kamis (19/9).
Dukungan pemerintah kepada petani pun sangat minim. Padahal di negara lain, subsidi pemerintah untuk petani mencapai 80 persen dari biaya produksi. Petani mancanegara menjadi bergairah dan bisa menjual produknya dengan lebih murah. Jadi akan sulit bagi produksi domestik untuk bersaing harga dengan produk impor.
Kondisi membanjirnya pangan impor bisa dihindari apabila pemerintah punya proyeksi pasar yang jelas. Dengan demikian, bisa diperkirakan kapan harga dan kebutuhan bisa melambung. Selama ini pemerintah dianggap berdalih bahwa impor merupakan solusi jitu untuk jangka pendek. Tanpa terasa, semakin lama impor menjadi kegiatan yang rutin dilakukan dan produknya makin beragam. Tahun lalu, impor pangan bahkan menyedot anggaran lebih dari Rp 125 triliun. Dana ini digunakan untuk impor daging sapi, gandum, beras, kedelai, ikan, garam dan kentang.
Padahal jika dilihat dengan cermat, tidak butuh lama untuk melakukan budidaya berkelanjutan. Untuk komoditas kedelai misalnya, dalam waktu 3 bulan sudah bisa dipanen. Rata-rata setiap komoditas bisa dipanen dalam hitungan bulan."Soal kualitas, pemerintah sangat bisa membantu dengan memberikan dukungan benih, pupuk, bibit, dan irigasi yang baik," katanya.
Kini berbagai kebijakan terkait pangan telah memberikan dampak nyata. Hasil Sensus Pertanian 2013 oleh Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat adanya penyusutan sebanyak 5,04 juta keluarga tani di negara ini. Tahun 2003, jumlah keluarga tani mencapai 31,17 juta keluarga. Sekarang, jumlahnya hanya 26,13 juta keluarga.
Ketua Kajian Strategis Nasional dari Serikat Tani Indonesia (SPI) Achmad Yakub mengatakan bekurangnya jumlah petani bukanlah sebuah prestasi. Dalam setahun, jumlah keluarga tani susut rata-rata 500 ribu rumah tangga. "Kebanyakan petani pensiun akibat penggusuran lahan atau lebih tertarik bekerja menjadi tenaga kerja kasar di luar negeri," katanya kepada Republika.
Sebaliknya, berdasarkan periode yang sama, jumlah perusahan pertanian bertambah 1.475 perusahaan. Dari 4.011 perusahaan per tahun 2003 menjadi 5.486 perusahaaan per tahun 2013. Yakub mengatakan hal ini merupakan salah satu indikasi bahwa proyek MP3EI berorientasi untuk membesarkan pihak swasta dan bukan masyarakat tani.
Ketua Eksekutif Indonesia Human Rights Committee for Social Justice, Gunawan mengatakan petani sedang mencari momentum untuk menagih janji reformasi agraria melalui jalur hukum. Negara terbukti belum melakukan langkah nyata untuk mewujudkan kedaulatan pangan. Hal ini bisa dilihat dari melesetnya target swasembada beberapa komoditas pangan selama bertahun-tahun.
Selanjutnya Sekertariat Bersama Pemulihan Hak-Hak Rakyat Indonesia (Sekber PHRI) yang akan meminta Mahkamah Konstitusi untuk melakukan uji materi Undang-undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Hal ini terkait mekanisme sewa yang bisa digunakan petani agar bisa mengelola lahan. Padahal berdasarkan amanah konstitusi, negara bukanlah pemilik lahan, hanya ditugasi untuk mengelola."Negara seharusnya tidak bisa menyewakan tanah, petani harus diberi hak pakai," katanya.
Pekan ini petani tebu telah turun ke jalan untuk menyampaikan aspirasi lansung kepada pemerintah. Selanjutnya, Sekber PHRI akan melakukan aksi bersama pada 24 September 2013. Sekber PHRI merupakan gabungan dari aliansi organisasi petani, buruh, nelayan, masyarakat adat, perempuan, pemuda, mahasiswa, serta lembaga sosial masyarakat.