Jumat 13 Sep 2013 09:55 WIB

Kebijakan Baru Biofuel Uni Eropa Ancam Industri Indonesia

Biofuel (ilustrasi)
Biofuel (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Parlemen Eropa pada Sidang Pleno yang diadakan di Strasbourg, Perancis menetapkan bahwa konsumsi biofuel Uni Eropa (UE) tidak boleh lebih dari enam persen dari total 10 persen konsumsi energi terbarukan yang digunakan UE untuk sektor transportasi pada 2020.

Dubes RI di Brussel Arif Havas Oegroseno di London, Jumat (13/9) menyebutkan salah satu sumber biofuel yang dikonsumsi sektor transportasi Uni Eropa adalah biodiesel yang diimpor dari Indonesia. Tercatat ekspor biodiesel Indonesia ke Uni Eropa pada 2012 mencapai 2,6 juta metrik ton.

Selain itu, Parlemen Eropa dalam sidangnya yang berlangsung Rabu (11/9) lalu membahas Indirect Land Use Change (ILUC) sebagai elemen dalam penghitungan jumlah emisi gas rumah kaca (GRK) dari biofuel. Banyak pihak menyampaikan keraguan, yang didorong oleh kurangnya data ilmiah untuk menentukan berapa emisi GRK yang muncul karena ILUC. Oleh karena itu, Parlemen Eropa memutuskan untuk membahas kembali isu-isu terkait dengan kebijakan baru Biofuel UE ini kemungkinan pada Sidang Pleno Parlemen Eropa 2015.

Dubes Havas yang hadir dalam Sidang Pleno Parlemen Eropa bertemu dengan beberapa anggota Parlemen Eropa. Corrine Lepage, anggota Parlemen Eropa dari Perancis, yang merupakan pelapor untuk kebijakan baru biofuel Uni Eropa menyampaikan dalam proses pengambilan keputusan, anggota Parlemen Eropa menerima petisi dan masukan dari berbagai kalangan yaitu industri, petani dan lembaga swadaya masyarakat (LSM).

Lepage juga menerima LSM Indonesia yang diwakili Sawit Watch dan Walhi yang meminta agar Uni Eropa segera menghentikan penggunaan minyak sawit untuk biofuel. Dalam pertemuan tersebut LSM Indonesia dan kalangan industri biofuel Eropa yang tergabung dalam European Biodiesel Board (EBB) sepakat untuk menolak masuknya biodiesel Indonesia ke Uni Eropa.

Biodiesel Indonesia dinilai telah menghancurkan industri biofuel, merugikan petani, dan berpotensi menghilangkan 400 ribu lapangan pekerjaan di Eropa. Jumlah ini tidak sebanding dengan pertanian kelapa sawit Indonesia yang menjadi penopang hidup jutaan keluarga petani sawit di Indonesia.

Melalui keterangan persnya Senin (9/9) kemarin, EBB menyebutkan pasar biodiesel Eropa harus ditutup dari produk biodiesel Indonesia karena telah menghancurkan industri dan pasar biofuel Uni Eropa. EBB telah menyampaikan protes keras kepada Uni Eropa agar impor biodiesel Indonesia dihentikan. Protes ini kemudian berakibat pada diberikannya tarif terhadap ekspor biodiesel Indonesia sebesar 83,84 euro per ton.

EBB yang mendukung petani di Uni Eropa yang menerima subsidi sebesar 6 milliar euro (sekitar Rp 89,3 trilliun), juga menuduh Indonesia melakukan subsidi terhadap petani sawit. EBB meminta Uni Eropa untuk menghukum Indonesia karena memberikan subsidi.

Menurut Dubes Havas , aliansi LSM lokal dan asing untuk suatu masalah sosial adalah biasa. "Namun, permintaan penghentian impor kelapa sawit dari Indonesia demi melindungi kepentingan industri dan petani asing yang dilakukan secara serempak antara industri asing, LSM asing, dan LSM Indonesia adalah fenomena baru," ujarnya kepada kantor berita Antara.

Untuk mengantisipasi kebijakan Uni Eropa ini, menurut Dubes Havas, Indonesia perlu menggalakkan penggunaan biodiesel di dalam negeri sebagai upaya memenuhi kemandirian energi, menghemat devisa, mensejahterakan petani, dan tidak tergantung pada pasar asing. Terlebih lagi, kata dia, saat ini terdapat 26 kilang biodiesel (refineries) di Indonesia, dimana investasi untuk pembangunan kilang CPO mencapai 2,7 miliar dolar AS.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement