Senin 09 Sep 2013 16:52 WIB

DPR Akan Revisi UU Lalu Lintas Devisa

Rep: Satya Festiani/ Red: Mansyur Faqih
Harry Azhar Aziz
Harry Azhar Aziz

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- DPR tengah mengkaji untuk merevisi UU Lalu Lintas Devisa Indonesia. Undang-undang tersebut dianggap sebagai salah satu regulasi devisa paling liberal sedunia. 

Wakil Ketua Komisi XI DPR, Harry Azhar Azis mengatakan, regulasi devisa yang ada sekarang sudah merugikan perekonomian dan mengganggu sektor riil. "Harus segera direvisi," ujar Harry dalam siaran pers, Senin (9/9). 

Saat ini, ujarnya, merupakan momentum yang tepat melakukan revisi atas UU Lalin Devisa tersebut. "Pasar Valas kita mudah kering. Orang asing seenaknya keluar-masuk, ekonomi kita yang terguncang oleh instabilitas pasar uang dan pasar modal. Ini tidak bisa dibiarkan terus," ujar Harry.

Saat ini, naskah rancangan tersebut masih di tingkat Deputi Sekjen Perundang-Undangan DPR, belum masuk ke Komisi XI. Harry mengatakan UU Devisa saat ini memberi kelonggaran yang cukup luas kepada Bank Indonesia (BI) untuk mengatur lalu lintas devisa dan valuta asing melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI). Namun, PBI yang ada belum cukup ampuh meredam gejolak rupiah belakangan ini. 

Ia mengatakan, salah satu cara agar pasar valas Indonesia dapat stabil yakni dengan mewajiban penempatan Devisa Hasil Ekspor (DHE) di bank lokal dalam periode tertentu atau yang disebut holding period. Thailand merupakan salah satu contoh negera yang menerapkan hal tersebut. "Terbukti Thailand berhasil menjaga nilai tukar mata uangnya atas dolar AS  saat krisis politik 'kaos merah' beberapa tahun silam," ujar dia.

Menurut Harry, saat ini Bank Indonesia memiliki PBI No.13/20/PBI/2011 dan Surat Gubernur BI no.14/3/GBI/SDM tanggal 30 Oktober 2012. Di sana diwajibkan devisa hasil ekspor komoditas tambang, serta minyak dan gas yang diparkir di luar negeri ditarik ke dalam negeri paling lambat 90 hari setelah tanggal pemberitahuan ekspor barang (PEB). 

Namun, PBI tersebut tidak cukup kuat menarik dan menahan devisa hasil ekspor ke dalam negeri. "Salah satu penyebabnya, tidak ada kewajiban menaruh devisa di dalam negeri dalam waktu tertentu (holding period) dalam enam bulan misalnya. Sebab di situ aturannya cuma melakukan pelaporan, ya kembali lagi ke luar negeri," ujar Harry.

Gubernur BI, Agus Martowardojo, mengatakan tidak memiliki rencana untuk melakukan capital control. "Tidak ada yang mau revisi UU lalu lintas DHE dan tidak ada pikiran melakukan capital control," ujar Agus.

Agus mengatakan, BI tidak akan melakukan hal-hal yang tidak normal. "Kalau seandainya ada ungkapan bahwa akan ada capital control, itu tidak ada," tegas dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement