Senin 09 Sep 2013 15:01 WIB

Ini Solusi Akindo Mengatasi Naiknya Harga Kedelai

Rep: Rr Laeny Sulistyawati/ Red: Nidia Zuraya
 Pekerja mengerjakan pembuatan tahu berbahan kedelai impor di Duren Tiga, Jakarta, Kamis (22/8). (Republika/Aditya Pradana Putra)
Pekerja mengerjakan pembuatan tahu berbahan kedelai impor di Duren Tiga, Jakarta, Kamis (22/8). (Republika/Aditya Pradana Putra)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Kedelai Indonesia (Akindo) menilai solusi untuk menurunkan harga kedelai bukan dengan mogok produksi tahu dan tempe melainkan para perajin yang menyesuaikan harga tahu dan tempe atau pemerintah berhasil menstabilkan nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar AS.

Direktur Eksekutif Akindo Yus'an mengakui bahwa para perajin memiliki hak untuk mogok produksi akibat mahalnya harga kedelai. Saat ini harga kedelai  melonjak yang semula di kisaran Rp 7.000-Rp 7.500 menjadi Rp 10 ribu per kilogram (kg).

Lebih lanjut Yus'an mengatakan, sebenarnya pihaknya sudah membicarakan persoalan mogok produksi tersebut dengan Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Gakoptindo). Bahkan persoalan mogok tersebut sudah dibicarakan berulang kali. “Mogok ini bukanlah solusi,” ucapnya saat dihubungi ROL, Senin (9/9).

Namun, pihaknya menyayangkan jika para perajin benar-benar mogok produksi dan kabarnya akan melakukan  razia untuk tidak menjual tahu dan tempe. Tindakan itu dipandangnya tidak benar karena melawan hukum dan memaksakan kehendak. Dia menjelaskan, penyebab melejitnya harga kedelai karena melemahnya nilai tukar mata uang rupiah terhadap mata uang dolar AS. Sehingga seluruh komoditas yang diimpor terkena dampak kenaikan harga seperti otomotif, komponen, jagung, gandum, termasuk kedelai. “Namun sebenarnya masyarakat di Pulau Jawa sensitif terhadap harga,” katanya.

 

Yus'an mencontohkan di Kalimantan Utara, harga bensin lebih tinggi yaitu Rp 10 ribu per liter, padahal harga normal Rp 6.500 per liter. Atau harga semen di Papua yang mencapai Rp 250 ribu per sak, padahal harga normalnya Rp 60 ribu per sak. “Namun toh masyarakat tidak mengeluh, maupun berteriak teriak, yang terpenting suplai ada,” tuturnya.

Lebih lanjut Yus'an mengatakan, langkah perajin tahu tempe agar tidak mengalami kerugian adalah dengan menaikkan harga jual.  “Memang ada dampak (penurunan penjualan). Tetapi nantinya kan ada harga keseimbangan (equilibrium price),” ujarnya.

 

Adapun stabilisasi nilai tukar rupiah yang berdampak ke harga komoditas impor tersebut adalah diluar kemampuan perajin, bahkan negara. Untuk itu, dia menegaskan, perajin jangan menuntut importir kedelai untuk menurunkan harga,  melainkan pemerintah dan Bank Indonesia (BI). “Mereka yang seharusnya yang dikejar untuk menjaga kestabilan kurs namun mereka tidak bisa menjaganya,” ujarnya.

Pihaknya memberi masukan, pemerintah membantu perajin untuk meringankan harga. Misalnya memberikan subsidi dengan memberlakukan kurs khusus untuk kedelai, atau membebaskan bea masuk.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement