REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Jatuhnya rezim Ikhwanul Muslimin membuat keuangan syariah kehilangan dukungan politik kuat di Mesir. Pangsa pasar bank syariah di Mesir hanya sekitar 5 persen, jauh di bawah perkiraan sekitar 25 persen.
Sebelumnya tampak keuangan syariah akan berubah maju ketika Muhammad Mursi, anggota dari Ikhwanul Muslimin, duduk di tampuk kekuasaan pada Juni 2012. Ikhwanul Muslimin berniat memperluas keuangan syariah diantaranya dengan membuat papan kebijakan ekonomi untuk menerbitkan sukuk , memperkenalkan aturan untuk memfasilitasi penggalangan dana wakaf oleh perusahaan syariah dan mereformasi operasi dukungan politik terhadap keuangan syariah.
Namun, rencana itu hilang seiring dengan penggulingan Mursi lewat pemberontakan militer pada awal Juli lalu. Pemerintah Mesir yang hanya sementara menjabat hingga Pemilihan Umum (Pemilu) awal tahun depan hanya sedikit memiliki perhatian terhadap keuangan syariah. Meski begitu, keuangan syariah diprediksi masih dapat tumbuh karena adanya beberapa faktor, yakni adanya permintaan produk keuangan syariah dari 84 juta penduduk Muslim Mesir, kebutuhan untuk mengembangkan sumber pembiayaan negara dan guna meningkatkan peran negara-negara Arab kaya dalam perekonomian Mesir.
"Sukuk akan tetap tersedia di Mesir karena satu-satunya instrumen yang digunakan beberapa investor dalam Dewan Kerjasama Teluk dan Asia Tenggara," ucap Kepala Otoritas Pengawasan Keuangan Mesir, Sherif Sami, seperti dikutip dari Reuters, Ahad (1/9) waktu setempat.
Mursi telah berjuang enam bulan mengeluarkan undang-undang yang mampu membuka jalan bagi masalah sukuk. Awalnya, Mesir diharapkan dapat menerbitkan debut sukuk internasional tahun ini dan mengumpulkan dana 10 miliar dolar AS pertahun dari penjualan tersebut. Namun, sepertinya harapan itu terlalu optimis. Pasalnya Mesir butuh waktu untuk membuat persiapan teknis dan mengembalikan stabilitas politik. Penjualan sukuk tersebut diperkirakan tidak dapat dilakukan sebelum akhir tahun depan.
Sukuk tetap dibutuhkan
Meski terancam gagal menerbitkan sukuk, bukan berarti Mesir akan meninggalkan sukuk di tahun-tahun mendatang. Mesir tetap membutuhkan sukuk untuk membantu mengisi kembali cadangan devisa dan menjembatani defisit anggaran negara yang besar.
Investor negara-negara Teluk menjadi semakin penting bagi perekonomian Mesir. Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan Kuwait telah menjadi pendukung utama keuangan Mesir sejak Mursi digulingkan dan menjanjikan bantuan 12 miliar dolar AS. Setiap kebangkitan investasi asing di Mesir diperkirakan akan sangat tergantung pada negara-negara Teluk.
Menteri Keuangan Mesir, Ahmed Galal mengatakan pada prinsipnya pemerintah sementara yang saat ini menjabat tidak punya masalah pada sukuk, tetapi mereka tidak akan menjadikan sukuk sebagai instrumen utama. Pascapenggulingan Mursi, promosi keuangan syariah di Mesir kurang agresif jika dibanding ketika Ikhwanul Muslimin masih berkuasa.
Tim kebijakan ekonomi baru Mesir menunjukkan minat kecil dalam bidang keuangan. Hal ini ditunjukkan dengan lemahnya pengelolaan ekonomi jangka panjang. Namun untuk layanan keuangan syariah belum tentu berubah. Pasalnya hanya sekitar 10 hingga 15 persen warga Mesir menggunakan layanan perbankan formal. Analis memperkirakan ini adalah potensi besar menumbuhkan bidang keuangan baik konvensional maupun syariah. Produk dan jasa perbankan syariah bisa menjadi cara untuk menarik banyak orang ke dalam sistem keuangan formal.
Kepala Transaksi Syariah Bank Pengembangan dan Kredit Pertanian, Abdel Rahman Al Kafrawi mengatakan ia tidak melihat dampak negatif sejak Juli lalu di 18 cabang yang menawarkan produk keuangan syariah. Bank BUMN tersebut melayani petani Mesir dan telah meluncurkan perbankan ritel syariah pada awal 2013. Bank menyediakan 7,1 juta dolar AS untuk pembiayaan pembelian barang tahan lama, peralatan pertanian dan biaya pendidikan. "Kebutuhan tersebut tidak pernah berhenti dan terlepas dari pengaruh politik atau makroekonomi. Karenanya, tidak ada dampak negatif yang dirasakan," ujar Al Kafrawi.
Direktur Eksekutif Akademi Pelatihan Metropolitan (yang menawarkan pelatihan tenaga lembaga keuangan syariah berbasis di Kairo), Shahinaz Rashad menyebut permintaan pelatihan untuk tenaga-tenaga profesional keuangan syariah tidak mengendur sejak Juli. "Klien mengejar preferensi pribadi mereka baik syariah konvensional, terlepas dari siapa yang berkuasa di pemerintahan," kata dia.