Selasa 23 Jul 2013 13:01 WIB

PPATK: Perlu Perjanjian Baru Terkait Penghindaran Pajak Global

Rep: Muhammad Iqbal/ Red: Nidia Zuraya
PPATK
Foto: twitter
PPATK

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Agus Santoso menilai tidaklah mengherankan apabila para menteri keuangan negara-negara G-20 sangat concern dengan isu penghindaran pajak global. Hal tersebut tak lepas dari tingginya kontribusi penerimaan negara dari sektor pajak terhadap anggaran setiap negara. 

"Potensi penerimaan dari sektor pajak berperan signifikan dalam perhitungan anggaran setiap negara. Oleh karena itu, concern para menteri keuangan tak lepas dari upaya untuk menjaga agar potensi penerimaan dari sektor pajak ini dapat diterima sesuai target yang ditetapkan," ujar Agus kepada Republika, Selasa (23/7). 

Sebagai contoh, dari total penerimaan negara dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2013 sebesar Rp 1.529,7 triliun, sebanyak 77,9 persen atau Rp 1.193 triliun berasal dari penerimaan perpajakan (selain pajak juga meliputi penerimaan bea dan cukai). 

Di sisi lain, kata Agus, ditengarai kejahatan penghindaran pajak semakin marak. Dari contoh kasus yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini, terlihat adanya praktek kongkalikong antara oknum petugas pajak dengan wajib pajak plus berbagai modusnya. Imbasnya adalah penurunan penerimaan pajak dan perhitungan yang seharusnya bisa diterima negara.

Sementara itu, dalam hubungan perdagangan internasional, kata Agus, baru-baru ini Pemerintah Amerika Serikat menerbitkan FATCA yaitu kebijakan perpajakan yang makna sederhananya adalah memperhitungkan pengenaan pajak kepada warga atau badan hukum AS dan pihak-pihak lain yang mendapat manfaat penghasilan dari hasil perdagangan dengan AS. 

Termasuk di dalamnya dari jasa keuangan. Agus menjelaskan kebijakan ini dipandang sebagai upaya ekstensifikasi penerimaan pajak AS dengan menerapkan undang-undangnya secara ekstra teritorial.  Sehingga, UU tersebut berlaku pula di negara lain sepanjang seseorang/badan hukum yang bersangkutan menerima pendapatan yang berasal dari AS.

"Implementasi UU ini tentu menuntut adanya keterbukaan data transaksi berupa indentitas, nomor rekening bank, nominal transaksi dan data lain yang relevan.  Inilah yang menjadi perdebatan tentang pelanggaran aturan hukum rahasia bank apabila data tersebut diberikan tanpa seijin pemilik rekening kepada pihak lain, walaupun otoritas," kata Agus. 

Belajar dari penerapan FATCA, Agus menilai tentu dimungkinkan apabila negara-negara anggota G-20 menyepakati penerapan pertukaran informasi perpajakan melalui pembentukan perjanjian multilateral yang mengatur standar baru tentang pertukaran informasi. "Guna menghindari perhitungan pajak berganda sekaligus menangkal upaya penghindaran pajak."

Lebih lanjut, Agus menyarankan perlu dibentuknya organisasi baru di tingkat dunia dan regional ASEAN yang khusus menangani konvensi-konvensi tentang standar perpajakan. Termasuk di dalamnya mekanisme pertukaran data dan informasi perpajakan. "Agar tercipta level playing fieldyang sama di antara para negara anggotanya," ujar Agus.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement