REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordintaor Bidang Perekonomian Hatta Rajasa mengakui pengambilalihan PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) masih terkendala perbedaan nilai aset.
"Masih on the track, artinya baik Nippon Asahan Aluminium (NAA) maupun Indonesia sepakat Inalum kembali pada kita (milik pemerintah) yang belum ketemu adalah nilai asetnya," katanya usai rakor dengan beberapa menteri terkait di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Senin (8/7).
Hatta menjelaskan kompensasi yang disebutkan dalam master agreement (perjanjian induk), masih diatur berdasarkan revaluasi aset, sementara itu berdasarkan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tidak berdasarkan revaluasi.
Hal senada disampaikan Menteri Perindustrian MS Hidayat yang mengatakan masih ada perbedaan angka terkait nilai aset. "Kita sedang menghitung perbedaan angka itu karena perbedaan pendapat sesudah atau sebelum revaluasi," ujarnya.
Dia menjelaskan pihak Jepang menghendaki sesudah revaluasi, sementara pemerintah menyatakan sebelum revaluasi. "Kedua, ada faktor audit BPKP yang juga punya angka tersendiri dan akan kita mintakan ke mereka untuk melakukan 'adjustment' (penyesuaian) itu," katanya.
Namun, Hidayat enggan berkomentar mengenai perbedaan nilai aset yang mencapai 400 juta AS dengan perusahaan yang saat ini masih dimiliki Jepang itu. "Ada perhitungan yang berbeda karena memang cara melihatnya dan menghitungnya berbeda. Maklum, ini suatu kerja sama selama 30 tahun dan setiap tahun dilakukan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)," tuturnya.
Hidayat memeparkan ketika terjadi pengakhiran, maka kedua pihak menggunakan kembali pasal-pasal pada perjanjian dasar. "Dan Mahkamah Agung itu lah yang kemudian ditrafsirkan oleh pihak Jepang ada perbedaan dengan pihak Indonesia," katanya.
Dia mengatakan akan kembali menggelar rakor pada Rabu (10/7) besok untuk merespon usulan pada 3 Juli lalu. Dia menambahkan rapat juga dimungkinkan setiap minggu dan melibatkan tim teknis untuk menyikapi perbedaan angka tersebut. "Mereka (Jepang) minta one package deal. Kita tawar segini nilai buku tadi, asumsinya kan masih berbeda," tukasnya.
Hidayat juga mengatakan akan membawa pengacara sebagaimana pihak Jepang untuk mengikuti angka yang sesuai. "Tentu mengikuti angka kita," tegasnya.
Inalum merupakan perusahaan yang membangun dan mengoperasikan Proyek Asahan. Sesuai dengan perjanjian induk, perbandingan saham antara pemerintah Indonesia dan Nippon Asahan Aluminium Co., Ltd pada saat perusahaan didirikan adalah 10 persen dengan 90 persen. Pada bulan Oktober 1978 perbandingan tersebut menjadi 25 persen dengan 75 persen dan sejak Juni 1987 menjadi 41,13 persen dengan 58,87 persen. Dan sejak 10 Februari 1998 menjadi 41,12 persen dengan 58,88 persen.
Inalum terdiri atas pabrik Peleburan Aluminium (PPA) atau smelter dengan kapasitas 225 ribu ton per tahun dan PLTA Asahan II dengan kapasitas 604 megaVolt (MV). Saat ini kapasitas produksi PT Inalum sebesar 250 ton aluminium ingot per tahun. Sebanyak 60 persen diekspor ke Jepang dan 40 persen dipasarkan di dalam negeri.