REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia memerlukan adanya anggaran pangan yang berkedaulatan karena meski besaran anggaran untuk pangan terus meningkat, tetapi hal itu bertolak belakang dengan kondisi pangan di Tanah Air yang semakin rentan.
"Banyak keanehan dalam proses menerjemahkan Rencana Kerja Jangka Panjang dan Rencana Kerja Jangka Menengah menjadi proyek-proyek yang tidak saling berkaitan untuk mendukung kedaulatan pangan," kata Koordinator Nasional Aliansi Desa Sejahtera (ADS) Tejo Wahyu Jatmiko, di Jakarta, Selasa (28/5).
Menurut dia, keanehan dalam berbagai proyek terkait pangan membuat anggaran untuk pangan lebih sering jatuh ke pihak yang tidak berhak dan hanya menguntungkan sekelompok orang. Hal itu terjadi karena penyusunan anggaran tidak berorientasi kedaulatan pangan tetapi lebih merupakan proses tawar menawar dengan pihak pemburu rente.
"Proses pembahasan anggaran memiliki ruang untuk dibajak oleh mereka yang mempunyai akses termasuk partai politik," ujar Tejo. Untuk itu, ADS juga mengingatkan agar pemerintah dapat menerapkan anggaran pangan yang berkedaulatan pada tahun 2014.
Sementara itu, Koordinator Pokja Beras ADS Said Abdullah mengatakan, belum adanya anggaran pangan yang berkedaulatan menunjukkan ketidakseriusan dalam mewujudkan kedaulatan pangan di tengah semakin derasnya impor pangan. Ironisnya, menurut Said, Indonesia sebenarnya pada tahun 80-an pernah dikenal sebagai negara swasembada pangan yang mampu menjadi eksportir beberapa bahan pangan.
"Kini situasinya sangat terbalik. Data BPS menunjukkan dari tahun ke tahun rasio ekspor-impor produk pertanian semakin besar. Volume dan nilai impor terus bertambah sementara ekspor terus menurun," kata Said.
Sebelumnya, Menteri Perdagangan Indonesia Gita Wirjawan mengungkapkan masih banyaknya distorsi kebijakan perdagangan yang mengarah ke sektor pangan atau pertanian, menjadi salah satu kendala untuk terwujudnya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015. Gita menganggap sulitnya mengikis distorsi tersebut, karena negara-negara Asia Tenggara masih khawatir dengan konteks integrasi zona ekonomi dan merupakan kebijakan yang mengubah jumlah perdagangan karena keberpihakan terhadap satu sektor dan melebihi batas.
Untuk mengurangi distorsi kebijakan itu, kata Gita, pemerintah akan lebih fokus dalam meningkatkan daya saing bagi produk nasional, sekaligus untuk meningkatkan penawaran beragam produk pertanian dari negara sekitar ke Indonesia.