REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kalangan dunia usaha menilai upaya pemerintah yang akan menerapkan batas rasio utang terhadap ekuitas (Debt to Equity Ratio/DER) sebagai upaya yang kontraproduktif. Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Hariyadi Sukamdani mengatakan upaya tersebut sama saja memperlambat pertumbuhan ekonomi Indonesia.
"Saya tidak mengerti justifikasinya," tuturnya kepada ROL, Senin (29/4). Utang luar negeri swasta yang makin tinggi membuat pemerintah akan menerapkan batas DER.
Sebagai catatan, saat ini pihak swasta terikat pada ketentuan DER yang ditetapkan yakni sebesar 30 persen modal (equity) dan 70 persen utang (debt). Batasan ini diklaim kalangan dunia usaha telah berjalan dengan baik.
Berdasarkan data statistik utang luar negeri yang dikutip dari Bank Indonesia, per Februari 2013, posisi utang luar negeri Indonesia menurut kelompok peminjam swasta sebesar 127,092 miliar dolar AS (Rp 1.234,825 triliun). Menurut jangka waktunya, utang luar negeri swasta yang jatuh tempo dalam kurun waktu satu tahun ke bawah adalah 37,432 miliar dolar AS (Rp 363,689 triliun).
Hariyadi membantah apabila kalangan dunia usaha dinilai kerap berutang dalam jumlah besar serta dalam jangka waktu pendek. Menurutnya, hal itu tidak mungkin dilakukan oleh pengusaha yang memiliki perhitungan yang matang.
Hariyadi pun membantah jika upaya tersebut dinilai sebagai upaya pengurang penghasilan bruto dalam perhitungan pajak penghasilan badan. "Kita sudah berhitung semuanya," tambahnya.
Lebih lanjut, Hariyadi menyarankan kepada pemerintah untuk mencari sumber penerimaan pajak dari wilayah lain. Terlebih dari wajib pajak badan saja, baru 500 ribu perusahaan yang membayar pajak. Upaya ekstensifikasi dalam hal ini lebih baik digencarkan alih-alih intensifikasi misalnya dengan pengaturan DER. "Intinya pemikiran DER itu tidak kena," ujar Hariyadi.