REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah secara resmi menghapuskan pajak pertambahan nilai (PPN) dan bea masuk impor untuk kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas (migas). Kebijakan ini diharapkan dapat mendorong kegiatan hulu migas di Indonesia. Aturan tersebut secara resmi tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor: 70/PMK.011/2013.
Pelaksana Tugas Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Bambang PS Brodjonegoro menjelaskan pembebasan pajak dan bea masuk tersebut hanya berlaku untuk barang yang diimpor langsung oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS). Beleid ini tidak berlaku apabila KKKS menggunakan jasa konsultan atau kontraktor di luar usaha migas.
"Jika kemudian KKKS-nya menggunakan salah satu kontraktor itu untuk mengerjakannya, PPN terhadap jasa tetap kena. Akan tetapi, terhadap (pajak dan bea masuk) terhadap barangnya bebas," tutur Bambang kepada wartawan saat ditemui di kantor BKF, Kompleks Kemenkeu, Jumat (26/4).
PMK Nomor: 70/PMK.011/2013 berisi tentang Perubahan Ketiga atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 231/KMK.03/2001 tentang Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Impor Barang Kena Pajak yang Dibebaskan dari Pungutan Bea Masuk. Peraturan ini ditetapkan pada 2 April 2013.
Dalam Pasal 2 ayat (4) dimaksudkan fasilitas tidak dipungut PPN atau PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dapat diberikan terhadap Barang Kena Pajak selama memenuhi ketentuan, salah satunya barang tersebut belum dapat diproduksi dalam negeri. Pada Pasal 2 disebutkan Permen ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Saat ditanya mengenai insentif lain yang akan diberikan selain PMK Nomor: 70/PMK.011/2013, Bambang mengaku tidak mengikutinya karena berada dalam kajian Direktorat Jenderal Pajak. Terkait keringanan pajak bumi dan bangunan (PBB) di wilayah eksplorasi, Bambang menyebut PBB ekplorasi migas telah nol persen.
Bambang menjelaskan, sebelumnya terdapat pertentangan mengenai pengenaan PBB di wilayah eksplorasi migas. Pertentangan itu adalah apakah PBB dikenakan untuk seluruh wilayah kerja atau hanya sumur-sumur yang menghasilkan migas. "Padahal belum tentu di seluruh wilayah kerja eksplorasi dapat memproduksi migas," kata Bambang.
Menurutnya, jangan sampai perusahaan migas menganggap bahwa perusahaan cukup membayar wilayah eksplorasi yang digunakan. Hal ini yang ingin diselesaikan dan ditentukan objek pajaknya. "Jadi, kalau hanya sumurnya nol persen, sisanya wilayah kerja tetap bayar sesuai NJOP-nya," ujar Bambang.
Pengamat energi Kurtubi mengatakan keberadaan PMK Nomor: 70/PMK.011/2013 dapat mendorong investasi eksplorasi migas. Meskipun demikian, ia mengkritisi mekanisme penghapusannya yang salah. Sebab kewajiban membayar pajak semasa eksplorasi ada di UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas.
"Ini jelas melanggar karena PMK memiliki derajat yang lebih rendah dibandingkan UU," kata Kurtubi.
PMK semacam ini pun kerap dikeluarkan setiap tahunnya oleh Kementerian Keuangan. Jika ingin meningkatkan eksplorasi migas ke depannya, Kurtubi menyarankan agar UU 22/2001 dicabut. "Kalau hanya menerbitkan PMK itu bukan solusi," ujar Kurtubi.