REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di tengah fluktuasi harga, perusahaan tambang batu bara menilai kenaikan royalti tidak menguntungkan. Kenaikan royalti akan menambah beban perseroan.
"Saat ini harga batu bawa masih dalam tekanan dan proyek yang ada saat ini belum memenuhi kebutuhan energi yang ada," ujar Sekretaris Perusahaan PT Bukit Asam Tbk Joko Pramono kepada ROL, Selasa (23/4).
Ia mengharapkan pemerintah memikirkan kembali kajian terkait tersebut. Kenaikan royalti akan berdampak pada surutnya industri batu bara di Indonesia. Apalagi harga batu bara belum lagi pulih. Selain itu sebagian besar perusahaan batu bara di Indonesia masih melakukan eksploitasi terhadap batu bara kualitas rendah.
Joko menambahkan pembayaran royalti perseroan kepada pemerintah dihitung berdasarkan kualitas batu bara dan jenis tambang. Biasanya tambang bawah tanah membayarkan royalti lebih murah dibandingkan tambang terbuka karena tingginya biaya operasional. "Kami rata-rata membayar royalti 5-7 persen dari harga jual," ujar Joko.
Hal senada diungkapkan oleh Sekretaris Perusahaan PT Bumi Resources Tbk Dileep Srivastava. Berdasarkan ketentuan kontrak generasi pertama batu bara, tidak disebutkan adanya baik kenaikan pajak ataupun royalti. "Dan tidak disebutkan adanya pungutan baru yang dikenakan kepada perusahaan," ujar Dileep dalam pesan singkatnya kepada ROL.
Dua anak usaha Bumi Resources Kaltim Prima Coal dan Arutmin Indonesia telah membayar royalti sebesar 13,5 persen. Royalti ini menurutnya tertinggi bila dibandingkan dengan royalti yang dibayarkan perusahaan lain di dunia. Kedua anak usaha tersebut juga telah membayar pajak penghasilan sebesar 45 persen. Bagi Bumi ini sudah mencapai level yang cukup tinggi.