REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekspor kayu dari Indonesia ke Uni Eropa cenderung turun. Dari kontribusi sebanyak 18 persen. Bahkan kini tersisa 14 persen dalam sepuluh tahun terakhir. Salah satu penyebabnya yaitu Indonesia melihat pasar lain yang lebih potensial dibandingkan Uni Eropa.
"Ada negara lain di luar Eropa yang lebih berminat dengan produksi kayu kita," ujar Menteri Keuangan Gita Wirjawan ketika membuka EU - Indonesia Trade Support Programme (TSP) II di Le Meredien Hotel, Selasa (9/4).
Pemerintah Indonesia tidak ingin bergantung hanya pada satu pasar. Apalagi biaya produksi juga semakin tinggi seiring dengan bertambahnya kepekaan terhadap lingkungan. Pengusaha dituntut untuk menyesuaikan harga dengan tuntutan dunia ini.
Dari sisi permintaan, Gita menganggap kenaikan harga ini sebagai hal yang wajar. "Jangan hanya dilihat di 'supply' saja, ini sebenarnya juga tidak masuk akal di 'demand side," katanya.
Indonesia menurut dia tengah disiapkan untuk menghadapi liberalisasi perdagangan. Salah satunya dengan persaingan tarif yang diterapkan pada komoditas ekspor. Dalam beberapa tahun ke depan, pemerintah akan semakin meluaskan kerja sama dengan negara lain.
Beberapa hal yang dianggap krusial sedang dibenahi demi menyambut pasar Eropa. Pertama terkait sertifikasi produk. Hal ini salah satunya telah diwujudkan dengan proses Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Lalu, menetapkan standar mutu yang diakui dunia internasional.
Indonesia juga harus berkutat terkait standar keamanan pangan. Pembenahan di aspek tersebut akan pula membantu Indonesia ketika berhadapan dengan persoalan-persoalan di tingkat Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Apalagi sebanyak 65 persen ekspor Indonesia terdiri dari produk pertanian.
Indonesia pun tengah mengembangkan sistem manajemen informasi bagi para eksportir untuk memperoleh informasi tentang regulasi standar dan teknis.
Aspek lain yang harus dibenahi terkait peraturan dan kebijakan yang mengatur perdagangan. Langkah pembenahan ini disusun menggunakan National Residue Monitoring Plan.'
Indonesia dan Uni Eropa telah menjadi rekanan ekonomi selama 30 tahun. Nilai perdagangan antara Uni Eropa dan Indonesia tahun lalu mencapai 32 miliar dollar Amerika. Dengan jumlah populasi lebih dari 250 juta jiwa, Indonesia merupakan salah satu pasar terbesar bagi Uni Eropa.