REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memutuskan revisi target produksi minyak siap jual (lifting minyak). Dari patokan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) 830 ribu barel per hari (bph) hingga 850 ribu bph, Kemenkeu mengajukan angka 840 ribu bph.
"Revisi APBN akan mengambil di tengah-tengah yakni 840," kata Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini dalam Seminar 'Indonesia Oil and Gas Industry 2013: Opportunity and Challenges', Senin (25/3). Target baru akan menggantikan target lifting APBN 2013 yang semula dibuat yakni 900 ribu bph.
Angka ini dipandang logis jika melihat target pencapaian penurunan laju produksi minyak (decline rate) setiap tahunnya yang merosot tiga hingga lima persen. "Sudah seharusnya target produksi minyak dibuat berdasarkan perhitungan yang benar bukan politis," katanya menjelaskan.
Bila memaksakan target lifting tinggi, ia menuturkan postur APBN bisa rusak. Dikatakannya kenyataan di lapangan, tak akan sesuai dengan harapan.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, produksi minyak mengalami penurunan sejak empat tahun terakhir. Dari semula 948 ribu bph di 2009, produksi minyak mengalami penurunan di 2010 menjadi 945 ribu bph.
Ini terus terjadi hingga 2011, di mana produksi turun lagi hingga 901 ribu bph di 2011. Produksi terendah terjadi 2012 lalu sebesar 860 ribu bph.
Penurunan terjadi karena umur sumur yang mulai uzur. Sumur yang mature membuat penurunan produksi bahkan mencapai 12 persen. Selain itu minimnya pengeboran eksplorasi menjadi penyebab.
Sementara, untuk target lifting gas bumi, SKK Migas mematok dikisaran 7.715 miliar british termal unit (BBTUD). Target ini lebih rendah dibanding target dalam APBN 2013 7.890 BBTUD.
Penurunan lifting migas kemungkinan akan membuat pendapatan negara hanya akan mencapai 27,9 hingga 29,5 miliar dolar AS. Sebelumnya, penerimaan dari sektor ini dipatol 31,7 miliar dolar AS.