REPUBLIKA.CO.ID, MUMBAI -- Seorang pria berjalan lemas melintasi penyeberangan jalan di markas besar Reserve Bank of India (RBI) sehari lalu. Indeks saham di Bombay Stock Exchange yang diperdagangkan pada Selasa (19/3) turun 1,5 persen menyusul pengumuman pemerintah menurunkan suku bunga 25 basis poin (bsp) dari 7,75 persen menjadi 7,5 persen. Rupee India melemah terhadap dolar AS, dari 54 rupee per dolar AS menjadi 54,37 rupee per dolar AS sebelum keputusan RBI.
Januari lalu, 14 dari 15 ekonom India sudah memproyeksikan hal ini akan terjadi. Pasalnya, Negeri Bollywood ini tengah mengalami ketidakpastian politik menjelang pemilihan umum tahun depan. Ekonom Capital Economics di India, Aninda Mitra, memperkirakan penurunan suku bunga ini akan berdampak tajam beberapa bulan ke depan.
"Keputusan bank sentral ini meningkat menjadi kekhawatiran akan inflasi tinggi, khususnya inflasi dari bahan pangan. Ini akan meningkatkan risiko ketidakstabilan ekonomi lebih luas," kata Aninda, dikutip dari Wall Street Journal, Rabu (20/3).
Penurunan suku bunga di India dibarengi dengan defisit fiskal dan transaksi berjalan (current account) selama satu dekade terakhir. Meskipun, pemerintah telah mengurangi subsidi BBM sejak September 2012. Bahkan, pemerintah sudah mengizinkan asing berinvestasi di sektor ritel, penerbangan, dan penyiaran.
Aroma politik mengiring penurunan suku bunga di RBI, yaitu pimpinan partai politik Dravida Munnetra Kazhagam yang akan meninggalkan koalisi pemerintahan. Hal ini karena debat kusir berkepanjangan dengan pemerintah dalam menghadapi kejahatan perang di Sri Lanka.
Kepergian Singh menarik simpati dari partai-partai kecil yang skeptis terhadap pemerintah. "Koalisi menjadi kian retak dan tergantung pada dukungan dari pihak luar yang berani mencairkan kebijakan yang jelas," kata Kepala Ekonom Bank HDFC India, Abheek Barua, dikutip dari Reuters.
Data pemerintah India menunjukkan perekonomian India hanya tumbuh lima persen pada akhir 2012, dibandingkan 5,3 persen akhir 2011. Tren perlambatan ini dikaitkan dengan pengetatan fiskal dan pelemahan ekspor. Kinerja ekonomi India ini bahkan lebih lambat dibandingkan 2009 dan 2011 ketika ekonomi Indonesia pada saat itu masing-masingnya bertumbuh 8,6 persen dan 9,3 persen.
Baru hitungan sehari setelah suku bunga diturunkan, indeks harga grosir yang menjadi pengukur utama inflasi di India terjun ke bawah tujuh persen untuk pertama kalinya dalam tiga tahun terakhir. Perbedaan antara harga grosir dengan harga dilevel konsumen semakin melebar karena inflasi pangan yang tinggi. Inflasi pangan memiliki bobot yang lebih tinggi dalam indeks konsumen. Inflasi harga bahan pangan memperburuk tantangan manajemen moneter untuk mempertahankan ekspektasi inflasi sesuai dengan target bank sentral.
Current account defisit di India yang diperkirakan analis akhirnya melebihi enam persen dari pendapatan domestik bruto (PDB) tahun fiskal berjalan. Hingga Maret 2013, penurunan suku bunga berpotensi memperlebar defisit current account dengan mendorong konsumsi dan meningkatkan permintaan untuk barang-barang impor. India juga perlu menjaga minat modal asing berinvestasi di negaranya demi mengimbangi defisit current account, dan menjaga performa Rupee. (Mutia Ramadhani)