REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Pembangunan Asia (ADB) mengingatkan peningkatan arus modal pada pasar obligasi lokal di beberapa negara berkembang Asia Timur dapat mendorong risiko terjadinya gelembung (bubble), walaupun hal tersebut menunjukkan adanya minat investor terhadap kawasan ini.
"Kawasan ini lebih tangguh dibandingkan dulu, namun pemerintah harus berhati-hati terhadap pembalikan arus modal yang dapat menyebabkan bubble, apabila perekonomian di AS dan Eropa mulai membaik," ujar Ekonom Senior ADB untuk Integrasi Ekonomi Regional, Thiam Hee Ng, dalam keterangan pers tertulis yang diterima di Jakarta, Senin (18/3) malam.
Sejak 1990, investor swasta telah menanamkan modal di kawasan Asia Timur, karena suku bunga rendah dan pertumbuhan ekonomi yang melambat di negara maju. Kondisi tersebut makin meningkat hingga akhir tahun lalu. Kawasan negara berkembang di Asia Timur dalam laporan ini mencakup Indonesia, Cina, Hong Kong, Korea Selatan, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam.
ADB mencatat pada akhir 2012, pasar obligasi di negara Asia Timur mencakup dana senilai 6,5 triliun dolar AS atau lebih tinggi dibandingkan periode yang sama pada 2011 yang hanya tercatat 5,7 triliun dolar AS. Situasi tersebut menunjukkan adanya peningkatan sebesar 12,1 persen. Hal yang sama terlihat dari pasar obligasi korporasi yang mengalami peningkatan hingga 18,6 persen atau sebesar 2,3 triliun dolar AS.
Thiam mencontohkan kondisi di pasar obligasi Indonesia, di mana kepemilikan obligasi pemerintah sebesar 33 persen dikuasai oleh investor luar negeri hingga akhir 2012. Bandingkan dengan kepemilikan asing atas obligasi pemerintah Malaysia yang mencapai 28,5 persen pada akhir September 2012. "Pasar obligasi lokal Indonesia meningkat pada triwulan IV 2012 sebesar 9,7 persen dibandingkan kondisi tahun lalu atau meningkat 3,3 persen dibandingkan akhir September 2012," ujarnya.
Sedangkan obligasi korporasi Indonesia meningkat hingga 19 miliar dolar AS dan obligasi pemerintah mencapai 92 miliar dolar AS. Pasar obligasi pemerintah tumbuh 6,6 persen year on year, karena penerbitan Surat Perbendaharaan Negara (SPN), treasury bill dan Surat Utang Negara (SUN). Penerbitan obligasi korporasi bahkan meningkat lebih tinggi 27,6 persen.
Namun, pertumbuhan tercepat pasar obligasi di kawasan ini terjadi di Vietnam, yang meningkat 42,7 persen lebih tinggi dibandingkan akhir 2011, akibat adanya ekspansi penerbitan surat utang dari pemerintah. Selain itu, pasar obligasi Filipina dan Malaysia masing-masing tumbuh 20,5 persen dan 19,9 persen, serta India meningkat 24,3 persen. Sementara, Jepang masih merupakan pasar obligasi terbesar di Asia Timur dengan kepemilikan dana 11,7 triliun dolar AS, diikuti Cina 3,8 triliun dolar AS.
Menurut Thiam, situasi yang cenderung kondusif di kawasan Asia Timur membuat pemerintah memilih untuk menerbitkan obligasi dengan jangka waktu jatuh tempo lebih panjang, untuk mengantisipasi pembalikan modal. "Kondisi ini telah terjadi di Indonesia dan Filipina. Namun jatuh tempo yang lebih pendek terjadi pada penerbitan obligasi korporasi," ujarnya.