Rabu 20 Feb 2013 17:10 WIB

Ketergantungan Impor Pangan Indonesia Tinggi

Rep: Meiliani Fauziah/ Red: Nidia Zuraya
Kedelai impor
Foto: antara
Kedelai impor

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketergantungan impor pangan Indonesia masih tinggi. Kondisi ini terjadi di hampir semua komoditas, yaitu padi, jagung, kedelai, gula dan beras.

"Pangsa impor pertanian Indonesia agak gawat," ujar pengamat pertanian dari Universitas Lampung, Bustanul Arifin saat diskusi media di gedung KPK, Rabu (20/2).

Secara umum, neraca produksi pangan Indonesia mengalami surplus. Namun dilihat dari masing-masing komoditas, hampir semua lini bergantung pada impor. Produksi kedelai misalnya, hampir 73 persen masih mengimpor dari Amerika Serikat. Dalam setahun produksi kedelai mencapai 783 ribu ton kedelai kering. Jumlah ini terus menurun dan jauh drai target swasembada sebesar 2,5 juta ton.

Lalu produksi gula dalam setahun mencapai 2,3 juta ton, masih di bawah target produksi sebesar 2,8 juta ton. Konsumsi gula per tahun lebih dari 4,5 juta ton. Jumlah tersebut terdiri dari 2,5 juta ton gula konsumsi dan 2 juta ton gula rafinasi yang berasal dari impor gula mentah.

Sampai dengan tahun 2012, terjadi ketergantungan cukup tinggi pada susu, sebesar 80 persen. Salah satu penyebabnya yaitu kesulitan peternak mencari sapi potong. Alhasil sapi perah pengahsil susu lalu dipotong untuk memenuhi kebutuhan daging. Sementara itu, kebutuhan daging masih disokong impor sebesar 30 persen.

Program swasembada daging yang sedang berjalan ini ditujukan untuk menekan impor hingga 9,8 persen. Saat ini estimasi kebutuhan daging mencapai 550 ribu ton. Estimasi ketersediaan daging mencapai 474,4 ribu ton produk lokal dan 80 ribu ton produk impor.

Jika ketergantungan pangan ini dibiarkan, maka berimbas pada penurunan daya saing bangsa. Untuk komoditas sapi misalnya, daya saing peternak sapi lokal sudah tertinggal jauh dengan peternak sapi impor. Peternak lokal pun rata-rata hanya memiliki 3-4 ekor sapi untuk diternakkan. "Jika kebijakan tidak bisa pro rakyat, maka negara dalam kondisi bahaya," ujar Bustanul.

Pemberdayaan dan pendampingan program swasembada juga tidak boleh sekadar dianggap proyek. Diperlukan kordinasi untuk menerjemahkan permasalahan ketergantungan pangan pada rakyat. Masyarakat harus dibuat paham mengenai bahaya ketergantungan pangan. Sayangnya, birokrasi menurut Bustanul belum menyentuh kepentingan masyarakat paling bawah.

Ketergantungan impor atas pangan mengancam kedaulatan bangsa dan negara. Negara yang bergantung mudah ditekan oleh negara yang berkuasa. Pada tahun 2030, diperkirakan akan terjadi krisis pangan di dunia. Jika hal ini benar terjadi, semua negara akan mendahulukan kepentingan rakyatnya dahulu. "Kita bisa mengemis-ngemis untuk membeli dengan pangan dengan harga sangat tinggi," ujar peneliti Bappenas Nugroho Ananto.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement