REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebijakan perpajakan yang diterapkan oleh pemerintah dinilai telah berjalan dengan baik. Namun, terdapat sejumlah aspek menyangkut administrasi hingga pengawasan yang harus dibenahi. Tujuannya agar penerimaan perpajakan dapat menopang penerimaan negara secara keseluruhan.
Demikian disampaikan pengamat perpajakan Universitas Indonesia (UI) Gunadi kepada wartawan seusai mengikuti Rapat Dengar Pendapat Umum Badan Anggaran DPR RI dengan Pakar bertajuk "Evaluasi Kebijakan Reformasi Perpajakan Cukai dan Kepabeanan" di Ruang Sidang Banggar DPR RI, Rabu (20/2).
Gunadi mengatakan, selama ini nilai objek pajak yang disampaikan oleh wajib pajak kepada instansi pemungut pajak kerap tidak sesuai. "Oleh karena itu perlu kerja sama yang baik antara keduanya (wajib pajak dan pemerintah)," kata Gunadi. Lebih lanjut, Gunadi menambahkan parameter pencapaian kinerja pajak suatu negara diukur dari tax ratio.
Indonesia dengan pendapatan per kapita 4.300 dolar AS memiliki tax ratio 12,8 persen. Sementara negara tetangga Vietnam dengan pendapatan per kapita 3.750 dolar AS, memiliki tax ratio 13,8 persen dan Filipina dengan pendapatan per kapita 3.700 dolar AS memiliki tax ratio 14,4 persen. "Tapi kalau pemerintah memilih mengukurnya dari dua sisi yaitu penerimaan dan benefit expenditure," kata Gunadi.
Direktur Penerimaan dan Peraturan Kepabeanan dan Cukai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Susiwijono menambahkan UU No. 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan mengatur seluruh hal terkait pengawasan atas lalu lintas barang yang keluar masuk daerah pabean. Sehingga Bea dan Cukai harus mencakup keseluruhan fungsi Bea dan Cukai.
Fungsi-fungsi Bea dan Cukai antara lain instrumen penerimaan negara, perlindungan masyarakat (melalui pembatasan barang yang masuk), memfasilitasi perdagangan dan perlindungan industri dalam negeri. "Sehingga UU Kepabeanan juga menjadi instrumen penerimaan negara," kata Susiwijono.