Senin 18 Feb 2013 17:06 WIB

Kementerian ESDM Minta Penghapusan PBB Migas

Rep: Sefti Oktarianisa/ Red: Nidia Zuraya
Ladang gas
Foto: Sony Soemarsono/Republika
Ladang gas

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) belum puas dengan insentif fiskal yang diberikan Kementerian Keuangan di sektor eksplorasi migas. Meski sebelumnya sudah menyetujui keringanan pajak bumi dan bangunan (PBB) sebesar Rp 28 per meter persegi, kali ini Kementerian ESDM meminta PBB dihapuskan.

"Kita sudah ajukan lagi. Kali ini, kita minta nol," tegas Dirjen Migas Kementerian ESDM A Edy Hermantoro, Senin (18/2). Menurutnya potensi kegagalan eksplorasi membuat pihaknya kembali mengajukan hal ini.

Ia pun menuturkan usulan revisi kembali ini, sudah diberikan lagi ke Kementerian Keuangan. Dikatakannya tak laik saat eksplorasi dan masih rugi, pemerintah sudah meminta bayaran dari kontraktor kontrak kerja sama (KKKS).

"Jadi posisi kita, supaya lebih menarik, waktu eksplorasi sebaiknya nggak usah bayar dulu," ujarnya.

Usulan ini pun, katanya, sudah disampaikan ke Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Menurutnya pemerintah dan lembaga tersebut sudah satu suara.

Namun sayangnya, ia masih enggan menuturkan berapa persen peningkatan eksplorasi bisa terjadi jika pajak ini dihapuskan. Pasalnya, bukan hanya PBB yang menjadi faktor peningkatan eksplorasi migas tapi juga kelengkapan data yang dimiliki pemerintah.

Berdasarkan data ESDM, di 2012 lalu total investasi di sektor energi mencapai 33 miliar dolar AS. Investasi terbesar berasal dari migas hingga 23,64 dolar AS.

Di 2013, target investasi sektor energi sebesar 38 miliar dolar AS. Khusus migas, pemerintah menargetkan investasi hingga 27,9 miliar dolar AS.

Sementara itu, pengamat energi Pri Agung Rakhmanto menilai sebenarnya kepastian hukum dalam eksplorasi dan produksi adalah hal penting yang dibutuhkan kontraktor. "Selain itu, mayoritas kontraktor migas meminta adanya fleksibilitas skema bisnis migas sebagai jaminan atas investasi selama ini," tegasnya.

Menurutnya insentif justru banyak yang tidak efektif. Ditegaskannya selama skema bisnis migas menggunakan alur pemerintah ke kontraktor (G to B) maka mereka akan melihat bisnis migas Indonesia sebagai hal yang tak menguntungkan.

Konsep ini membuat birokrasi yang harus dilalui KKKS amat panjang. Belum lagi tumpang tindih peraturan hingga pembebasan lahan yang dinilai menjadi penghambat bisnis hulu migas.

"Sebaiknya skemanya diubah menjadi business to business (B to B)," ujarnya. Dengan ini, ia yakin eksplorasi bakal lebih optimal.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement