REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aspek permodalan jadi tantangan perbankan menyambut era pasar bebas 2020 nanti. Perhimpunan Bank-bank Umum Nasional (Perbanas) memproyeksikan, hingga 2015, seluruh perbankan di Indonesia memerlukan dana untuk modal segar hingga Rp 113 triliun.
Direktur Hubungan Masyarakat Bank Indonesia (BI), Difi A Johansyah, mengatakan salah satu cara menjawab tantangan permodalan dan likuiditas perbankan ke depannya adalah mendorong bank-bank melakukan konsolidasi antarbank. Saat ini, di Indonesia, terdapat lebih dari 120 bank. "Jumlah mereka banyak, namun modalnya terbatas. Makanya, kami dorong mereka konsolidasi, misalnya merger," kata Difi kepada ROL, Rabu (30/1).
Menurutnya, lebih baik bank ada dengan jumlah cukup namun didukung permodalan kuat, ketimbang bank banyak namun permodalan terbatas. Merger akan menghasilkan bank dengan modal yang kuat dan hal ini dinilai efektif. Namun, Difi menyayangkan seringkali pemilik bank tak mau melakukannya.
Seperti diketahui, BI membuat revisi kebijakan kepemilikan tunggal atau single presence policy (SPP) demi meningkatkan skala ekonomi bank. Khususnya bank yang modal intinya di bawah satu triliun rupiah.
Revisi ini, kata Difi, akan mempermudah konsolidasi perbankan, termasuk merger dan akuisisi antarbank. Aturan ini memungkinkan investor yang sudah menjadi pemegang saham pengendali (PSP) disuatu bank bisa menjadi PSP di bank lain meski tidak melalui mekanisme merger.
Direktur Penjaminan dan Manajemen Risiko Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Salusra Satria, memandang masing-masing perusahaan perbankan memiliki rencana bisnis bank (RBB). Jika merger bank menjelang 2015 tak bisa dilakukan, dan jika pasar modal tak mampu mencukupi sumber permodalan perbankan, maka sumber permodalan lainnya bisa ditambahkan dari laba bank itu sendiri atau berasal dari pertumbuhan organik.
Tambahan permodalan itu bisa berasal dari laba ditahan. "Indonesia merupakan salah satu tempat berusaha perbankan yang menarik investor. Sebab rentabilitas (ROA dan ROE) bank-bank di Indonesia itu sangat bagus," kata Salusra.
Keuntungan tersebut, lanjut Salusra, bisa diperoleh dari perkembangan ekspansi bisnis. Jika kredit yang disalurkan makin banyak, maka laba perusahaan juga makin banyak. Hal ini kemudian diikuti oleh pertumbuhan laba ditahan yang semakin tinggi, sehingga modalnya bisa bertambah.