REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana kebijakan redenominasi oleh pemerintah dinilai belum tersosialisasikan dengan baik. Pemerintah pun diminta untuk menyampaikan ide tersebut dengan cara yang lebih sederhana.
Pengurus harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Tulus Abadi mengungkapkan, bahasa redenominasi hanya dimengerti hanya kalangan tertentu saja. "Belum sampai ke warga menengah ke bawah,"ungkapnya saat dihubungi Republika, Jumat (25/1).
Oleh karena itu, Tulus meminta pemerintah untuk mengungkapkan bahasa tersebut secara lebih sederhana. Sehingga, seluruh masyarakat dapat mengerti apa itu redenominasi. Jika tidak, tuturnya, maka akan terjadi kekacauan saat kebijakan tersebut diterapkan.
"Ini hal baru selama ini kita tidak kenal dan tahu,"jelasnya.
Meski demikian, Tulus sepakat jika redenominasi dilakukan. Menurutnya, dijit mata uang rupiah memang terlalu tinggi ketimbang negara-negara lain. Sehingga, dapat menjadikan inefisiensi.
Seorang karyawan swasta di perusahaan transportasi Taufan Sembodo mengungkapkan, baru pertamakali mendengar kata redenominasi. "Belum dengar. Baru dengar sekarang,"ujarnya. Saat dijelaskan apa itu redenominasi, warga Jakarta ini pun tidak setuju. Menurutnya, warga akan rugi jika kebijakan tersebut diterapkan.
"Yang sekarang ini saja sudah gak ada nilainya. Ya kembali ke jaman Diponegoro dong. Jelas enggak setuju,"ujarnya.