REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Mukhtasor menilai kondisi keenergian Indonesia saat ini sedang gawat. Setidaknya ada tiga persoalan energi, yang menurut dia, perlu segera diambil keputusan tepat.
"Pertama, persoalan arah pengelolaan energi yang telah diamanatkan UU 30 tahun 2007 tentang energi," katanya pada wartawan, Selasa (18/12). Meski sudah lima tahun UU ini terbit, namun sampai sekarang tak satupun isi UU ini direalisasikan.
Terkait perancangan dan penyusunan Kebijakan Energi Nasional (KEN) tentang penyediaan energi, pemanfaatan energi, prioritas pengembangan energi dan cadangan penyangga energi. Dewan Energi Nasional (DEN) yang dipimpin oleh Presiden sebagai ketua dan Menteri ESDM sebagai ketua harian perlu segera mengetok palu tentang rumusan KEN ini.
“Menurut peraturan perundang-undangan, seharusnya Presiden memimpin Sidang Paripurna DEN setiap enam bulan sekali," jelasnya lagi. Kalau hal itu dilaksanakan, ia yakin kebijakan KEN segera terbit dan kita akan memiliki landasan yang kokoh dalam pengelolaan energi jangka panjang.
Persoalan kedua terkait kebijakan jangka menengah tentang alokasi dana APBN di sektor energi, termasuk kebijakan subsidi BBM dan listrik. Dalam hal ini Mukhtasor menjelaskan, Indonesia harus memiliki kebijakan subsidi BBM dan listrik yang obyektif dan sesuai dengan persoalan nasional sekarang.
"Apakah uang APBN yang jumlahnya sekitar Rp 300 triliun tersebut akan terus disalurkan kepada pengguna kendaraan mewah dan konsumen listrik besar. Ataukah, untuk investasi dan subsidi kepada rakyat yang memang benar-benar tidak mampu atau terisolasi di wilayah terpencil dan perbatasan?," jelasnya.
Ia menilai hal ini harus diambil keputusannya dari sekarang. Pasalnya Pemilu yang akan datang 2014 nanti bakal membuat situasi politik tak kondusif. "Baru akan ada keberanian pengambilan keputusan setelah pemilu," katanya. Misalnya 2015, maka selama tiga tahun ke depan, dikatakannya pemerintah akan terus menggelontorkan uang negara kurang lebih Rp 1000 triliun atau hampir setara dengan APBN setahun.
Persoalan ketiga terkait tata kelola dan kelembagaan. "Ini juga mengkhawatirkan,"ujarnya. Misalnya, kejelasan status lembaga yang permanen menggantikan peran BP Migas perlu segera ditetapkan atau melalui revisi UU Migas. Pergantian pejabat eselon satu yang sudah pensiun dan akan segera menyusul pensiun juga menjadi penyebab lain.
"Banyak posisi yang masih kosong atau belum ada pejabat definitif," katanya. Hal semacam ini kalau tidak segera ditindaklanjuti maka juga berpotensi mengganggu pencapaian target yang ditetapkan dalam kebijakan energi nasional.