REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Perindustrian (Kemenperin) memperkirakan nilai impor produk petrokimia pada 2013 mencapai 8 miliar dolar AS. Impor baru dapat dihentikan bila Indonesia setidaknya membangun tiga kilang yang terintegrasi dengan pabrik petrokimia.
Direktur Jenderal (Dirjen) Basis Industri Manufaktur Kemenperin, Panggah Susanto menyatakan, kebutuhan dalam negeri akan petrokimia sangat besar. “Namun, Indonesia masih bergantung pada pasokan produk petrokimia impor. Kondisi itu, setidaknya bakal berlanjut hingga 2-3 tahun ke depan,” katanya, Jumat (14/12). Setiap tahun, kebutuhan produk petrokimia akan naik setidaknya sekitar 10 persen, mengikuti pertumbuhan industri hilir pengguna. "Tahun ini, impor petrokimia bisa mencapai 7 miliar dolar,” ujarnya.
Panggah mengatakan, proyek-proyek tersebut baru bisa beroperasi pada 2016. Dengan pengembangan tersebut Indonesia bisa menyuplai dua juta ton ethylene. Sementara, permintaan dalam negeri hanya 1.344 ribu ton sehingga bisa mengeskpor 656 ribu ton ethylene. "Indonesia kemudian bisa menjadi eksportir produk petrokimia," katanya.
Pada tahun lalu, permintaan produk petrokimia nasional mencapai 4,42 juta ton untuk ethylene, propylene, polyethylene, monoethylene, polypropylene, dan butadiene. Pasokan dari dalam negeri tercatat mencapai 3,35 juta ton dan sisanya dipasok dari impor. Sementara pada 2016 permintaan industri petrokimia diproyeksikan mencapai 5,58 juta ton dan suplai dari dalam negeri mencapai 8,34 juta ton.
Vice President Corporate Communication PT Pertamina (Persero), Ali Mundakir mengatakan, perusahaan bertekad akan menambah kontribusi di industri petrokimia lebih banyak lagi. Saat ini, kontribusi Pertamina di industri petrokimia baru sekitar 10 persen. Tahun 2015, ditargetkan kontribusi pertamina bisa mencapai 30 persen. “Industri petrokimia permintaannya tinggi, nilai tambahnya besar. Semestinya bisa kita manfaatkan secara terintegrasi,” ujar Ali.