REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA - PT Pertamina (Persero) bakal membangun kilang petrokimia berkapasitas satu juta ton per tahun. Proyek ini diperkirakan memakan dana hingga 5 miliar dolar AS atau sekitar Rp 48,2 triliun.
Wakil Presiden Korporat Komunikasi Pertamina mengaku perseroan sudah menunjuk tiga perusahaan untuk dikaji sebagai rekanan, yakni SK Global Chemical, PTT Global Chemical, dan Mitsubishi Corporation.
"Dalam empat bulan mendatang, Pertamina akan menetapkan salah satu sebagai mitra usaha patungan," katanya, Rabu (12/12). Diharapkan feasibility study (FS) akan tuntas kuartal keempat 2013.
Hal senada dikatakan Direktur Pemasaran dan Niaga Pertamina Hanung Budya. Menurutnya dalam pembangunan kilang, Pertamina akan mendominasi saham hingga 51 persen.
Pembangunan sudah mendapat lampu hijau dari pemerintah. "Ini untuk mengurangi ketergantungan pada petrokimia impor," ujarnya.
Saat ini, impor produk petrokimia ditaksir mencapai Rp 50 triliun per tahun. Kilang petrokimia Pertamina akan memproduksi PVC 200 ribu ton, ethylene (250 ribu ton), polypropylene (350 ribu ton), polyethylene (400 ribu ton).
“Setelah kilang terbangun, kami menargetkan untuk dapat menguasai 30 persen pangsa pasar," katanya. Pertamina memprediksi pasar petrokimia nasional akan mencapai Rp 289 triliun.
Di tahap selanjutnya Pertamina menargetkan penguasaan pasar petrokimia menjadi 80 pesen pada 2025. "Kami yakin target tersebut dapat tercapai," katanya.
Kini Pertamina baru memasok 10 persen dari total kebutuhan petrokimia nasional. Dengan peran Pertamina itu, diharapkan pasar produk petrokimia, khususnya domestik, lebih kompetitif dan efisien dengan kehandalan pasokan yang lebih terjamin.
Sebelumnya, Pertamina berniat membangun kilang minyak yang ditargetkan selesai 2018. Kilang akan dibangun di Balongan Jawa Barat dengan mitra Kuwait Petrolium Corporation dan di Tuban Jawa Timur dengan Saudi Aramco Saudy Company Limited.
Kedua kilang akan memiliki kapasitas total hingga 300 ribu barel per hari. Nilai investasi bahkan mencapai 6 miliar dolar AS atau sekitar Rp 57,8 triliun.
Namun hingga kini pembangunan belum berjalan karena insentif yang masih mandek di Kementerian Keuangan. Relokasi kilang pun terpaksa dilakukan ke Bontang, Kalimantan karena melonjaknya harga dan tak laiknya struktur tanah di Jawa.