Senin 26 Nov 2012 20:36 WIB

BP Migas: Pertamina Seharusnya tak Setop Penjatahan BBM Subsidi

Rep: Sefti Oktarianisa/ Red: Ajeng Ritzki Pitakasari
 Sejumlah kendaraan antre mengisi bahan bakar jenis pertamax akibat habisnya BBM bersubsidi di salah satu SPBU di jalan Hayam Wuruk, Jakarta Pusat, Senin (26/11). (Republika/Agung Fatma Putra)
Sejumlah kendaraan antre mengisi bahan bakar jenis pertamax akibat habisnya BBM bersubsidi di salah satu SPBU di jalan Hayam Wuruk, Jakarta Pusat, Senin (26/11). (Republika/Agung Fatma Putra)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) menegaskan sebenarnya sudah memberi solusi kepada Pertamina bila pembatasan BBM bersubsidi menimbulkan kerawanan. Pertamina, ujar Direktur BBM BPH Migas Djoko Siswanto, seharusnya melakukan operasi pasar.

"Kita sudah sebutkan solusi kita ini di surat yang kita tujukan ke Pertamina di poin lima," tegasnya saat dihubungi Republika, Senin (26/11). "Jadi bukan malah menghentikan."

Pasalnya, kata dia, tak semua pengkitiran di daerah mendatangkan dampak negatif bagi masyarakat. Ia menegaskan di Jawa misalnya, pengkitiran BBM bersubsidi ini sudah dilakukan selama sepekan dan sukses.

"Jadi seharusnya dihentikan di daerah yang rawan saja," jelasnya. Sehingga kuota BBM bersubsidi tetap bisa dikendalikan.

Persoalan kelangkaan di Kalimantan Timur yang berujung pada pembakaran 300 kios bensin, kata dia, juga seharusnya juga dicari sumber penyebabnya. Menurut dia bisa saja penyelewengan yang justru menyebabkan insiden ini.

"Karena perlu diketahui, penyelewengan solar itu paling banyak di Kalimantan," ujarnya. Ia mengatakan bukan rahasia lagi kalau di wilayah itu juga banyak BBM bersubsidi yang dijual secara ilegal untuk kepentingan industri.

Sementara itu, untuk menekan konsumsi BBM bersubsidi terutama solar, ia pun menegaskan BPH Migas juga sudah menyurati Kementerian ESDM untuk melakukan pelarangan penggunaan BBM bersubsidi pada kendaraan kehutanan. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement