REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Departemen Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan perekonomian Indonesia tumbuh tidak seimbang karena didorong sektor-sektor yang kandungan impor tinggi dan kurang menyerap tenaga kerja.
"Kondisi ini menimbulkan tekanan terhadap neraca pembayaran, karena kuatnya konsumsi dan investasi domestik di tengah melemahnya kinerja ekspor," kata Perry dalam Seminar Investasi 2013 dan Ancaman Overheating di Jakarta, Rabu (21/11).
Menurut Perry, pertumbuhan ekonomi Indonesia didorong oleh kuatnya konsumsi dan investasi domestik, yang masing-masing diprakirakan tumbuh sekitar 5,0 - 5,5 persen dan 10 - 12 persen pada tahun ini.
"Pertumbuhan didorong oleh sektor-sektor berorientasi permintaan domestik, seperti pengangkutan, konstruksi, dan perdagangan. Sementara sektor pertanian dan industri khususnya UMKM justru tertinggal dan perlu didorong," katanya.
Menurut perkiraan Bank Indonesia sektor pertanian hanya akan tumbuh antara 2,4 - 2,9 persen, sementara sektor industri pengolahan diperkirakan tumbuh 5,5 - 5,9 persen, bangunan 7 - 7,4 persen, perdagangan 8,6 - 9 persen, pengangkutan dan komunikasi 9,9 - 10,3 persen.
Sementara pertumbuhan ekonomi 2012 diperkirakan mencapai 6,3 persen dan tahun 2013 sebesar 6,5 persen. Untuk mengatasi ketidakseimbangan pertumbuhan ini, maka fokus kebijakan Bank Indonesia, menurut Perry pada pengelolaan keseimbangan eksternal dengan tetap memberikan dukungan pada perkembangan ekonomi domestik.
Respon kebijakan yang ditempuh BI antara lain mempertahankan BI Rate 5,75 persen karena masih konsisten dengan prakiraan inflasi 2012-13 yang terkendali pada sasaran 3,5 - 5,5 persen dan kondusif bagi pertumbuhan ekonomi.
Selanjutnya, melanjutkan stabilisasi nilai tukar Rupiah sesuai dengan kondisi fundamental, yang menurut Perry depresiasi Rupiah selama ini berhasil menurunkan defisit transaksi berjalan.
BI juga akan terus meningkatkan pendalaman pasar valas dengan merelaksasi ketentuan forward untuk memudahkan investor melakukan hedging, setelah sebelumnya menerbitkan term-deposit valas.
Selain itu, BI akan menempuh langkah kebijakan lanjutan terkait dengan DHE, termasuk pengembangan bisnis trustee di perbankan.
Sedangkan di kebijakan makroprudensial, BI akan melakukan pengelolaan pertumbuhan kredit antara lain dengan kebijakan loan to value (LTV) diperkuat terhadap lembaga keuangan syariah dan larangan Kredit Tanpa Agunan (KTA) untuk uang muka kredit.
Selain kebijakan yang dilakukan BI, Perry menilai Pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan baik di bidang fiskal, industri, investasi, infrastruktur agar kapasitas ekonomi nasional meningkat untuk perbaikan neraca pembayaran, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan penciptaan lapangan kerja. "Perlu kebijakan untuk mendorong ekspor dan mengurangi ketergantungan impor," katanya.