REPUBLIKA.CO.ID, SIMALUNGUN -- Ketua Umum Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) Isran Noor mengatakan ketidakjelasan berbagai perangkat hukum yang mengatur hubungan pusat dan daerah bisa menggagalkan upaya pembangunan ekonomi lewat Master Plan Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia (MP3EI).
"MP3EI bisa gagalkan karena tak jelasnya aturan hukum (yang mengatur hubungan pusat dan daerah)," kata Isran Noor dalam rapat kerja APKASI Regional Sumatera yang berlangsung di Parapat, Jumat.
Dalam raker yang berlangsung tiga hari (7-9/6) itu, hadir Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) Kejaksaan Agung Dr ST Burhanuddin, Direktur Pengembangan Ekonomi Daerah Kemendagri Widodo Sigit Pujianto dan Direktur Wilayah Pesisir, Pulau-Pulau Kecil dan Wilayah Tertentu, Badan Pertanahan Nasional (BPN), Sayuti Is.
Raker bertema "Penguatan Regulasi Otonomi Daerah yang Mendukung MP3EI" itu dihadiri oleh para bupati se-Sumatera yang menjadi anggota APKASI Regional Sumatera dengan koordinatornya Bupati Simalungun, Dr JR Saragih.
Menanggapi pernyataan sejumlah bupati mengenai ketidakjelasan berbagai regulasi dan aturan hukum itu, Isran Noor mengingatkan hal tersebut bisa mengakibatkan gagalnya MP3EI, padahal gerakan yang dicanangkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sejak setahun lalu itu harapan besar bagi percepatan pembangunan ekonomi bangsa.
"Dalam pertemuan saya dengan Presiden, ia mengatakan kalau ada ide-ide atau usul-usul, para bupati bisa menyampaikannya secara langsung kepada beliau," kata Isran yang juga menegaskan bahwa kunci utama MP3EI ialah pembangunan infrastruktur yang mendukung perluasan investasi mengarah kepada terciptanya kesejahteraan masyarakat.
Pada bagian lain, Isran Noor mengatakan, kini sudah lebih dari 50 persen kepala daerah di Indonesia yang terkena implikasi hukum akibat dari kebijakan-kebijakan pembangunan yang mereka laksanakan. Padahal langkah-langkah kebijakan tersebut pada umumnya bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Jamdatun Burhanuddin mengatakan, kepastian hukum pelaksanaan percepatan dan perluasan pembangunan, khususnya di koridor ekonomi Sumatera yang mengedepankan konektivitas infrastruktur ekonomi sangat bergantung pada hubungan hukum yang melindungi setiap aktivitas peningkakan ekonomi.
Ditegaskannya, itu terutama kepada masyarakat dan pelaku usaha yang dapat menimbulkan tumpang tindih peraturan perundang-undangan. "Pada satu sisi negara berkepentingan melaksanakan peningkatan pembangunan, di sisi lain masyarakat dan pelaku usaha memiliki hak konstitusionalnya," kata Burhanuddin.
Terkait itu, Burhanuddin mengakui adanya potensi persinggungan berbagai peraturan perundang-undangan, seperti kewenangan otonomi daerah, tata ruang daerah, agraria menyangkut pelepasan maupun pencabutan hak atas tanah, masalah kehutanan dan penerapan ramah lingkungan.
Bukan hanya itu, Burhanuddin melihat juga adanya tumpang-tindih yang merugikan pelaku usaha dan masyarakat karena tidak terdapat kepastian hukum tentang aturannya, sehingga timbul konflik horizontal antara pelaku usaha dan masyarakat terhadap pemberian yang diberikan tanpa memperhatikan salah satu pihak.
Namun, secara umum dewasa ini tidak ada kekosongan hukum dalam hal pengaturan hubungan pusat dan daerah terkait upaya pembangunan ekonomi, demikian Jamdatun Burhanuddin.