Selasa 27 Mar 2012 21:51 WIB

Pemerintah Pantau Pintu Gelap Perdagangan RI-Cina

Rep: Mutia Ramadhani/ Red: Chairul Akhmad
Dahlan Iskan
Foto: Antara/Rosa Panggabean
Dahlan Iskan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Selisih nilai perdagangan Indonesia dan Cina mencapai 10 miliar dolar AS. Menurut Menteri BUMN, Dahlan Iskan, hal tersebut tak wajar. Artinya, ada barang-barang Indonesia yang masuk ke Cina tak melewati pintu Indonesia, melainkan pintu gelap.

"Pemerintah harus pantau pintu gelap itu," kata Dahlan kepada Republika di kantornya, Selasa (27/3). Jika dirupiahkan, selisih tersebut berarti merugikan Indonesia hingga Rp 100 triliun per tahun.

Seperti diketahui, Cina mencatat volume perdagangan dengan Indonesia mencapai 60 miliar dolar AS. Sedangkan Indonesia mencatat 50 miliar dolar AS. Dahlan mendapatkan info tersebut saat bertemu dengan Menteri Perdagangan Cina di Cina akhir pekan lalu. Menurutnya, data impor di Cina kemungkinan kebenarannya lebih besar dibandingkan data ekspor di Indonesia.

Dihubungi terpisah, Kepala Peneliti Ekonomi dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Yose Rizal Damuri, memaparkan dalam aturan statistik, data impor lebih bisa dipercaya dibandingkan data ekspor. Sebab, ada kepentingan ekonomi satu negara untuk mengenakan bea masuk terhadap barang impor sebagai sumber pendapatan negara. "Sedangkan data ekspor itu hanya sekedar pencatatan di atas kertas saja," kata Yose.

Faktor penyelundupan (smuggling), kata Yose, menjadi penyebab berikutnya terhadap perbedaan data. Negara pengekspor tak mungkin mencatatkan angka penyelundupan. Sedangkan negara pengimpor pasti menghitung setiap barang yang masuk ke negaranya.

Selisih perdagangan yang tak terdata (diskrepansi) antara Indonesia dan Cina itu tak wajar. Jarak tempuh antara dua negara tak dipungkiri dapat menjadi faktor penyebab perbedaan pencatatan tersebut, apalagi jika destinasinya jauh.

Selisih mencolok hingga 10 miliar dolar AS, kata Yose, mungkin saja terjadi dalam hubungan dagang Indonesia dengan negara-negara yang lokasinya amat berjauhan. Hal ini terkait beban transportasi dan distribusi barang (transhipment). "Namun, jika dengan Cina, semestinya gapnya tak sebesar itu. Gap yang wajar kisaran 1-5 persen," kata Yose.

Selisih 10 miliar dolar AS tersebut, menurut Dahlan, harus ditelusuri lebih lanjut melalui verfisikasi data kedua negara yang akan dilakukan dalam waktu dekat. Verifikasi tersebut khususnya mengidentifikasi bentuk dan jenis barang dalam transaksi perdagangan kedua negara.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement