REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Meski kebutuhan pangan di dalam negeri masih berasal dari mekanisme impor, pemerintah tetap yakin Indonesia menjadi lumbung pangan dunia. Tujuan tersebut bisa dicapai jika bidang pertanian mengembangkan inovasi dan meningkatkan produktivitas. Selain itu, lembaga-lembaga penelitian harus terus dimanfaatkan.
Hal itu disampaikan Menko Perekonomian Hatta Rajasa ketika membuka Expo Nasional Inovasi Perkebunan 2011 di Balai Kartini, Jumat (14/10). "Indonesia berpeluang menjadi pemasok pangan dunia, feed the world," kata Hatta. Inovasi yang kurang dalam bidang pertenian bisa membuat negara menghadapi persoalan pangan.
Dia menambahkan, inovasi tidak hanya mendukung ketersediaan pangan, namun bisa meningkatkan daya saing produk pertanian di tingkat global. Hatta mengingatkan, kebutuhan pangan dan energi akan terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah manusia. Oleh karenanya, produktivitas dan daya saing produk pangan mutlak harus diperhatikan.
"Umat manusia akan terus tumbuh berkembang, bahkan akan mencapai sembilan miliar manusia dalam satu dekade ke depan, kita butuh energi dan pangan 60 persen dari keadaan sekarang," kata Hatta. Menurut dia, kondisi tersebut merupakan tantangan yang harus direspon. Indonesia memiliki penduduk lebih dari 230 juta yang memerlukan pemenuhan pangan.
Menurut Hatta, Indonesia tidak boleh menggantungkan pangan kepada bangsa lain. Kebutuhan pangan paling dasar harus mampu dipenuhi produksi dalam negeri. Kemandirian, kata dia, bukan hanya dalam hal pemenuhan kebutuhan, melainkan upaya peningkatan daya tahan bangsa dalam bidang perekonomian.
Peningkatan produktivitas bisa dicapai dengan kultur dan teknologi. "Inovasi adalah kata kunci untuk meningkatkan daya saing dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat Indonesia," kata Hatta. Dia mengingatkan, peningkatan inovasi tidak boleh melupakan petani.
"Pikirkan untuk selalu memberikan perlindungan bagi para petani kita, termasuk penyediaan benih, akses permodalan, akses lahan, dan stablisasi pasar," kata Hatta. Dia menekankan perlunya kolaborasi ilmu pengetahuan, lembaga penelitian, dunia usaha, dan negara yang melahirkan sebuah regulasi.