Kamis 06 Oct 2011 19:21 WIB

Merugi, PLN Emoh Dibilang Kinerja tak Optimal

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menilai PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) merugi hingga belasan triliun rupiah karena belum bekerja secara optimal. Namun Direktur Utama PT PLN Dahlan Iskan di Jakarta, Kamis (6/10), menyatakan tak setuju dengan penilaian bahwa perusahaan yang dipimpinnya belum bekerja optimal sehingga tak mampu melakukan penghematan yang berdampak pada kerugian besar.

Dahlan menyebut pengurangan jatah gas hingga lebih dari Rp10 triliun, ditambah dengan terlambatnya realisasi proyek listrik 10 ribu megawatt, adalah biang keladi kerugian besar yang diderita PT PLN (Persero).

Dahlan mengungkapkan hal itu terkait dengan laporan BPK mengenai gagalnya penghematan biaya bahan bakar sebesar Rp17,90 triliun pada 2009 dan Rp19,70 triliun pada 2010. "Dugaan saya, kerugian itu terjadi karena jatah gas PLN yang dikurangi lebih dari Rp10 triliun. Lalu telatnya proyek listrik 10 ribu megawatt," kilahnya.

Dari hasil audit BPK diketahui PLN kehilangan kesempatan melakukan penghematan biaya bahan bakar sebesar Rp17,90 triliun pada 2009 dan Rp19,70 triliun pada 2010.

Lembaga audit ini juga menilai PLN sebagai pemasok utama listrik di Indonesia belum bekerja secara optimal. Penghematan biaya bahan bakar gagal dilaksanakan akibat tidak dapat memenuhi kebutuhan gas untuk pembangkit sesuai dengan volume dan spesifikasi teknis yang dibutuhkan.

Tak hanya itu, PLN juga dituding tidak mengoperasikan dan memelihara beberapa pembangkit sesuai dengan ketentuan teknis dan prinsip efisiensi. Itu terlihat salah satunya dari penggunaan bahan bakar "high speed diesel" pada pembangkit yang berbasis "dual firing".

Akibatnya, biaya pemeliharaan membengkak Rp104,63 miliar pada 2009 dan Rp3,61 miliar pada 2010, dibandingkan biaya pemeliharaan pembangkit bila dioperasikan dengan bahan bakar gas. Hal itu terjadi karena PLN mengalami keterbatasan pasokan gas.

Selain itu, PLN juga tidak merencanakan, mengadakan, membangun dan mengoperasikan PLTU Percepatan 10.000 megawatt sesuai dengan kebutuhan dan ketentuan. Sedangkan penyebab belum terealisasinya proyek itu dinilai karena PLN tidak cermat dalam menentukan lokasi pembangkit.

Tak hanya itu PLN juga dianggap terlambat menyediakan pendanaan, melakukan pengadaan beberapa peralatan pembangkit yang tidak sesuai dengan kebutuhan, serta memenangkan beberapa kontraktor pembangunan PLTU yang tidak memenuhi persyaratan lelang.

Tidak berhenti sampai di situ, PLN juga diketahui belum dapat memenuhi kebutuhan panas bumi untuk pembangkit sesuai dengan volume dan spesifikasi teknis yang ditentukan. Misalnya pada PLTP Lahendong III yang mengakibatkan ketidakhematan minimal Rp194,94 miliar.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement