Selasa 29 Mar 2011 20:20 WIB

Spekulan Bikin Harga Minyak Cenderung Naik

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Ekonom Senior Standard Chartered, Fauzi Ichsan, memprediksi harga minyak masih akan cenderung naik apabila krisis di Afrika Utara belum mereda. Meskipun demikian, menurut dia, di Jakarta, Selasa, kondisi itu lebih dikarenakan peran para spekulan dan bukan karena permintaan riil ekonomi global.

"Kenaikan harga minyak, kalaupun akan naik terus lebih dipicu spekulator dan bukan karena kebutuhan riil ekonomi global," ujarnya dalam paparan dampak krisis politik di Afrika Utara dan Timur Tengah terhadap ekonomi di Jakarta, Selasa (29/3).

Ia mengatakan permintaan ekonomi global atas energi minyak masih terbatas karena pertumbuhan ekonomi dunia, terutama di Eropa dan Amerika Serikat (AS) akan lebih lambat dibandingkan tahun lalu. "Pemulihan pasca resesi 2008 masih rentan, sehingga konsumsi BBM dan energi di ketiga ekonomi tersebut pertumbuhannya juga masih terbatas. pelaku yang memicu kenaikan harga minyak adalah spekulator yang menggunakan kondisi krisis politik di Afrika Utara dan Timur Tengah," ujarnya.

Fauzi mengharapkan krisis di Libya akan cepat berakhir dan tidak merembet ke negara-negara tetangga, seperti Iran dan Saudi Arabia, karena akan cepat menstabilkan harga minyak. Namun apabila krisis politik akan menyebar ke negara-negara lain di Afrika Utara dan Timur Tengah, maka dipastikan harga minyak akan meningkat hingga 120-150 dolar AS per barel.

"Kalau misalnya krisis berakhir di Libya saja, tidak meluas ke Iran ke Saudi Arabia, maka harga minyak kemungkinan besar tidak akan naik banyak dan kemungkinan akan turun lagi. Tetapi kalau krisis ini meluas ke Iran dan Saudi Arabia, harga minyak sangat mungkin naik ke 120-150 dolar AS per barel," ujarnya.

Secara keseluruhan, ia menambahkan, kestabilan harga minyak dalam jangka waktu dekat tergantung dari hasil perkembangan geopolitik di Libya dan Afrika Utara. "Untuk sementara kita tidak melihat hal itu akan terjadi. Kita melihat krisis di Libya akan berakhir dan tidak meluas ke negara produsen minyak lain," ujar Fauzi.

Sebelumnya, pada Senin (28/3) kontrak utama New York, minyak mentah light sweet untuk pengiriman Mei, menetap di 103,98 dolar AS per barel, turun 1,42 dolar AS dari tingkat penutupan Jumat. Di London, minyak mentah Brent North Sea untuk pengiriman Mei turun 79 sen menjadi ditutup pada 114,80 dolar AS per barel.

Harga minyak memperoleh dukungan "dari meningkatnya ketegangan politik di Yaman dan Suriah serta perang sipil yang sedang berlangsung di Libya," analis pada grup riset JBC Energy mengatakan dalam sebuah catatan kliennya pada Senin. "Namun demikian, dengan hilangnya sebagian besar produksi

Libya sedang sangat diperhitungkan dalam harga Brent sebesar 115 dolar AS per barel, dan produksi minyak mentah Yaman dan Suriah yang relatif kecil kepentingannya untuk pasar minyak global, berdampak 'bullish' (harga) agak kecil," ujar analisis tersebut.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement