Selasa 21 May 2019 12:33 WIB

Peternak: Sapi Impor Asal Brasil Halal

Pemerintah telah mengajukan persyaratan saat membuka impor daging dari Brasil.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Friska Yolanda
Daging sapi impor yang sudah tidak beku (lumer) di Blok III, Pasar Senen, Jakarta Pusat, Jumat (10/5).
Foto: Republika/Nugroho Habibi
Daging sapi impor yang sudah tidak beku (lumer) di Blok III, Pasar Senen, Jakarta Pusat, Jumat (10/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Jenderal Perhipunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia Rochadi Tawaf menilai, aspek kehalalan peternakan sapi di Brasil sudah cukup baik. Menurut dia, para pengusaha dan peternak sapi di Brasil cukup memperhatikan aspek kehalalan, salah satunya dengan mendatangkan juru sembelih halal (juleha) dari negara-negara Muslim.

Menurut dia, dengan dibukanya kerja sama perdagangan khususnya di bidang pertanian antara Indonesia dengan Brasil, para pengusaha sapi di sana cukup memperhatikan aspek kehalalan. Pasalnya, mereka tahu aspek halal merupakan hal yang penting jika ingin menjalin kerja sama dagang dengan Indonesia.

Baca Juga

“Yang saya tahu, mereka (Brasil) itu memilih tenaga kerja Muslim dari lokal dan mendatangkan juleha dari luar negeri seperti Pakistan dan Indonesia,” kata Rochadi saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (21/5).

Selain itu, kata dia, aspek kehalalan lainnya juga dipenuhi oleh Brasil. Rochadi menjelaskan, persyaratan-persyaratan yang diajukan pemerintah Indonesia saat membuka keran impor daging sapi akan diterapkan Brasil. Karena, menurut dia, apabila aspek kehalalan tersebut tidak dipenuhi maka Indonesia dapat menolak kembali barang yang masuk.

Dengan masuknya Brasil sebagai pemain impor daging setelah Australia, Selandia Baru, India, dan wacana kerja sama daging impor dari Argentina, pihaknya menilai secara harga dari informasi yang dia terima, harga daging sapi Brasil cukup kompetitif. Meski, dia belum bisa menyebut berapa kisaran harga yang diklaim kompetitif tersebut.

Dia menyebut, dengan makin kompetitifnya harga antara negara pengimpor, pihaknya mempertanyakan keberpihakan pemerintah terhadap peternak lokal. Sebab, menurutnya, si satu sisi kebijakan impor daging memang menguntungkan konsumen namun memberatkan peternak lokal.

“Aturan sekarang kan impor daging ini tidak dibatasi. Contoh saja, masuknya daging kerbau India saja harganya sudah Rp 80 ribu, peternak lokal pasti tertekan,” kata dia.

Berdasarkan catatan Kementerian Pertanian (Kementan), kebutuhan konsumsi Indonesia terhadap daging mencapai 686.270 ton atau 66 persen lebih dari kebutuhan nasional, yang mana sisanya diisi oleh pasokan impor. Sedangkan, berdasarkan acuan tersebut, produksi daging sapi lokal pada 2019 diproyeksi hanya sebesar 429.412 ton, sehingga defisit kebutuhan daging mencapai 256.860 ton.

Rochadi mengakui, produksi daging lokal memang belum memenuhi kebutuhan konsumsi secara nasional. Sebab, dia menyebut, aturan yang diberlakukan pemerintah terhadap peternak lokal tidak memberikan rangsangan yang berorientasi pada pertumbuhan produksi sapi dan kerbau lokal. Salah satunya adalah aturan yang tak berimbang dengan aturan yang ditetapkan dengan aturan daging impor.

“Di sini, kita (peternak) tidak boleh pakai hormon dalam melakukan budidaya. Sedangkan daging impor yang masuk itu, pakai hormon semua,” kata Rochadi.

Berdasarkan Undang Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang peternakan dan kesehatan hewan terdapat poin yang menyebutkan aturan, para peternak lokal dilarang menggunakan hormon sintetik maupun hormon natural. Padahal, kata dia, larangan peraturan hormon tersebut bisa diubah dengan adanya perkembangan teknologi.

Dia menyebut, budidaya ternak dengan menggunakan hormon akan menambah produktivitas produksi 1,5-2 kilogram (kg) bobot hewan ternak per hari. Sedangkan, tanpa menggunakan hormon, hewan ternak hanya mampu bertambah bobotnya sekitar 0,7 kg. Hal tersebut dinilai diskriminatif dan tidak menguntungkan peternak lokal.

Menurut dia, pemerintah belum secara eksklusif menggenjot peningkatan produksi ternak sapi maupun kerbau di Indonesia. Hal itu, kata dia, terlihat dengan kebijakan impor yang acuannya hanya berdasarkan rasio harga, bukan ke pendekatan produksi.

“Harusnya diukur, berapa tingkat kebutuhan daging kita dengan produksi. Kalau produksinya berkurang, berarti kan harus ada kinerja untuk meningkatkannya. Pendekatannya jangan harga,” kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement