Jumat 19 Dec 2014 22:53 WIB

Harga BBM Mengambang Mempersulit Kinerja Industri Logistik

Rep: C78/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priuk. Jakarta, Senin (22/9). ( Republika/Prayogi)
Foto: Republika/Prayogi
Aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priuk. Jakarta, Senin (22/9). ( Republika/Prayogi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA—Rencana penerapan floating tariff atau tarif mengambang untuk premium dan solar akan menyulitkan pengusaha logistik dalam melakukan perencanaan pembiayaan bahan bakar harian.

Wakil Ketua Umum Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) Anwar Sata menerangkan, pembiayaan BBM untuk keperluan tracking logistik perharinya harus direncanakan dan dipastikan. Maka, harganya harus terjangkau dengan hitungan dari perjalanan logistik.

“Harus dipastikan harganya, jangan mengambang agar kita tidak sulit mengatur ulang pembiayaan logistik,” ujarnya kepada ROL pada Jumat (19/12). Sebelumnya, rencana pengambangan harga premium dan solar menyusul harga minyak dunia yang terus menurun.

Artinya, harga jual BBM non-pertamax nantinya akan mendapatkan subsidi tetap dengan angka tertentu, dan harganya akan fluktuatif mengikuti harga minyak dunia.

Anwar yang juga merupakan Wakil Ketua Komite Tetap Bidang Logistik dan Intermoda Kamar Dagang dan Industri (Kadin) menyebut, tracking logistik merupakan ruh dari perekonomian Indonesia. Khususnya di Pelabuhan Tanjung Priuk-kawasan Industri Jawa Barat, terjadi peredaran arus barang logistik 60-70 persen dengan muatan sekitar 20 ribu unit logistik per hari.

“Itu yang bisa didata yang antarpulau, ekspor dan impor, belum termasuk yang kecil-kecil seperti sayuran,” katanya. Makanya, harus jelas dasar hitungannya agat penghitungan fluktuasi pembiayaan tidak berulang-ulang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement