REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Pengamat ekonomi Universitas Gadjah Mada, Anggito Abimanyu, Kamis (30/12) berpendapat bahwa Indonesia tidak perlu menerapkan insentif "tax holiday". Berdasarkan kajian yang ia lakukan Anggito mengatakan bahwa insentif pajak sebenarnya bukan merupakan faktor penting dalam keputusan berinvestasi.
Menurut dia, "tax holiday" merupakan bentuk insentif pajak yang digunakan oleh negara-negara berkembang untuk menarik investasi, khususnya investasi asing. Berdasar skema itu, perusahaan-perusahaan yang baru berdiri dan memenuhi kualifikasi dibebaskan dari pembayaran pajak penghasilan korporasi (badan) untuk jangka waktu tertentu, misalnya lima tahun.
Bukan faktor penting, kata Anggito, karena bobot prioritas masalah perpajakan hanya mencapai 12,44 persen. Sementara bobot pembayaran bunga mencapai 12,66 persen, regulasi bidang ketenagakerjaan 12,86 persen, infrastruktur 24,56 persen, dan regulasi bidang administrasi 26,47 persen.
Menurut dia, pemanfaatan arus modal asing untuk peningkatan investasi di Indonesia memerlukan kebijakan perbaikan daya saing baik di bidang makro, prosedur ekspor-impor, perpajakan, dan infrastruktur.
Sementara dari sisi dasar hukum, Anggito menilai pemberian "tax holiday" tidak memiliki dasar hukum yang kuat tanpa mengubah UU Nomor 38 tahun 2009 tentang PPh. "Perlu kajian hukum mendalam terhadap amandemen UU Nomor 38 tahun 2009 tentang PPh," kata mantan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu itu.
Menurut dia, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 62 tahun 2009 tentang Fasilitas Perpajakan untuk Investasi, dapat diperluas dan disederhanakan sehingga tetap bisa menarik investasi.