Ahad 19 Mar 2023 07:10 WIB

Pemerintah Dinilai Harus Perhatikan Krisis Credit Suisse

CS merupakan salah satu bank pengelola dana kekayaan terbesar di dunia.

Rep: Iit Septyaningsih/ Red: Friska Yolandha
 Credit Suisse di distrik keuangan London Canary Wharf, di London, Inggris, Kamis (16/3/2023). Kekhawatiran berkembang akan krisis perbankan global baru menyusul kerugian yang diderita oleh Credit Suisse dan runtuhnya bank AS SVB (Silicon Valley Bank). Sementara itu ECB (Bank Sentral Eropa) telah meningkatkan suku bunga zona euro sebesar 0,5 persen dan telah menyatakan akan menanggapi gejolak pasar lebih lanjut.
Foto: EPA-EFE/ANDY RAIN
Credit Suisse di distrik keuangan London Canary Wharf, di London, Inggris, Kamis (16/3/2023). Kekhawatiran berkembang akan krisis perbankan global baru menyusul kerugian yang diderita oleh Credit Suisse dan runtuhnya bank AS SVB (Silicon Valley Bank). Sementara itu ECB (Bank Sentral Eropa) telah meningkatkan suku bunga zona euro sebesar 0,5 persen dan telah menyatakan akan menanggapi gejolak pasar lebih lanjut.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setelah Silicon Valley Bank (SVB) dan Signature Bank, kini giliran Credit Suisse (CS) yang tengah dalam krisis. Padahal bank yang berkantor pusat di Swiss tersebut dikenal memiliki banyak deposan kaya.

Berbeda dengan kasus SVB dan Signature Bank sebelumnya, Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet menilai, pemerintah perlu memberikan perhatian terhadap kasus yang sedang dialami oleh CS. Ini karena, CS merupakan salah satu bank pengelola dana kekayaan terbesar di dunia dan dia merupakan bank yang terkoneksi secara sistemik dari sistem keuangan global. 

Baca Juga

"Dari kalimat ini saja kita sudah bisa mengetahui kasus yang dialami CS jika tidak diselesaikan atau terselesaikan maka berpotensi memengaruhi sistem keuangan Global. Tidak hanya di Eropa tetapi juga di negara-negara lain yang terkoneksi dengan sistem keuangan Global termasuk di dalamnya di Indonesia," jelas dia kepada Republika.co.id, Sabtu (18/3/2023).

Maka, lanjutnya, apa yang terjadi di perbankan Amerika Serikat (AS) dan Eropa memungkinkan pula terjadi di bank di dalam negeri. Yusuf menegaskan, kemungkinan itu ada, tapi berikutnya perlu dilihat seberapa besar kemungkinan tersebut. 

"Menurut saya salah satu titik diskusi dari beberapa kasus Bank yang mengalami krisis saat ini yaitu masalah manajemen dari bank sendiri. Seharusnya kalau kita melihat semakin baik mitigasi sebuah bank terhadap beragam kondisi, maka semakin kecil pula resiko mereka terkena krisis," tuturnya.

Dirinya menuturkan, yang dimaksud mitigasi di sini, misalnya strategi bank dalam menghadapi tingkat kenaikan suku bunga acuan. Lalu strategi yang seperti apa yang bisa dilakukan untuk menyalurkan dana. 

Dengan begitu, ketika terjadi guncangan dalam perekonomian Global sebuah bank sudah siap. Bank itu sudah bisa memitigasi masalah yang muncul dari guncangan tersebut. 

Yusuf meelanjutkan, yang terjadi pada CS itu merupakan kombinasi berbagai hal. Pertama, secara umum kenaikan suku bunga acuan secara global yang dilakukan oleh banyak bank sentral guna menekan inflasi supaya tidak mengalami peningkatan secara terus-menerus dan signifikan, akhirnya memberikan konsekuensi terhadap bank.

Pada saat bersamaan, kata dia, CS juga telah mengalami permasalahan. Baik yang sifatnya teknis finansial maupun nonteknis, akhirnya salah satu pemicu yang membuat nasabah dari CS sendiri khawatir ketika adanya sentimen isu dari laporan keuangan yang dikeluarkan oleh CS, ditambah pernyataan yang dikeluarkan oleh salah satu investor di CS yaitu Saudi National bank yang mengindikasikan mereka tidak bisa membantu kembali.

"Ini yang kemudian membawa kepanikan terhadap nasabah atau pun investor CS karena di-setting bersamaan sebelumnya, sudah mengalami kondisi yang relatif mirip dan tidak begitu bagus. Maka ini memengaruhi sentimen investor maupun nasabah guna menarik dana mereka dari CS," jelasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement