Selasa 07 Feb 2023 03:30 WIB

BI: Perlu Tingkatkan Literasi Ekonomi dan Keuangan Syariah

Indeks literasi ekonomi syariah Indonesia mencapai 23,3 persen.

Rep: Rahayu Subekti/ Red: Friska Yolandha
Karyawan PT Bank Muamalat Indonesia Tbk memberikan penjelasan produk kepada nasabah prioritas usai peresmian pembukaan layanan Priority Center di kantor Cabang Buaran, Jakarta, Kamis, (8/12). Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Juda Agung mengatakan saat ini perlu peningkatan literasi ekonomi dan keuangan syariah.
Foto: Republika/Prayogi
Karyawan PT Bank Muamalat Indonesia Tbk memberikan penjelasan produk kepada nasabah prioritas usai peresmian pembukaan layanan Priority Center di kantor Cabang Buaran, Jakarta, Kamis, (8/12). Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Juda Agung mengatakan saat ini perlu peningkatan literasi ekonomi dan keuangan syariah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Juda Agung mengatakan saat ini perlu peningkatan literasi ekonomi dan keuangan syariah. Hal itu bertujuan untuk mempercepat pengembangan ekonomi dan keuangan syariah di Tanah Air.

"Perlunya perluasan edukasi dan literasi di samping tantangan lain seperti penggunaan teknologi dan digitalisasi ekonomi syariah yang juga perlu ditingkatkan untuk dapat mengakselerasi sertifikasi halal, pembiayaan syariah dan ekspor produk halal," kata Juda dalam Sharia Economic and Financial Outlook (Shefo) 2023 di Jakarta, Senin (6/2/2023).

Baca Juga

Juda menyebut, indeks literasi ekonomi syariah Indonesia mencapai 23,3 persen pada 2022 atau menunjukkan literasi ekonomi dan keuangan syariah masih rendah. Sehingga perlu peningkatan edukasi dan literasi bagi masyarakat Indonesia.

Selain itu, Juda menuturkan pengembangan ekonomi dan keuangan syariah juga menghadapi tantangan lain, yakni masih terbatasnya pertumbuhan usaha syariah jika dibandingkan dengan potensinya yang begitu besar baik untuk memenuhi kebutuhan domestik maupun dalam rangka ekspor ke berbagai negara.

Global Islamic Economic Indicator menunjukkan bahwa ekonomi syariah Indonesia masih menduduki peringkat keempat, di bawah Malaysia, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab. Sementara itu, pada sektor makanan halal, Indonesia berada di peringkat kedua, sedangkan di sektor fesyen, Indonesia meraih peringkat ketiga padahal potensinya jauh lebih besar.

"Di sektor 'traveling' bahkan kita belum masuk di 10 besar. Jadi, ini adalah tantangan yang harus kita respons segera, kalau kita ingin mengakselerasi ekonomi dan keuangan syariah," katanya.

Kondisi tersebut disebabkan antara lain oleh sektor halal di hulu yang masih rendah, proses sertifikasi halal dan hub pasar domestik dan ekspor yang belum optimal serta pemanfaatan peluang-peluang baru di ekonomi syariah seperti pariwisata ramah muslim, bidang farmasi dan media yang perlu ditingkatkan.

Tantangan berikutnya, kata dia, berasal dari segi keuangan dan pembiayaan. Juda mengatakan bahwa belum signifikannya pangsa pembiayaan syariah menjadi tantangan yang menonjol di sektor keuangan syariah. 

"Basis investor keuangan syariah juga masih perlu diperkuat," katanya.

"Di dunia kita masih ranking enam di dalam pembiayaan syariah. Hal ini antara lain disebabkan oleh basis penabung yang masih terbatas, inovasi produk juga yang masih terbatas," ujarnya.

Padahal, menurut dia, produk-produk keuangan syariah seharusnya lebih banyak dan bervariasi sehingga memberikan banyak pilihan bagi investor.

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement