Kamis 26 Jan 2023 17:20 WIB

Laporan PBB: Hindari Penghematan Fiskal

Direkomendasikan realokasi dan reprioritas anggaran melalui intervensi langsung.

Kantor Pusat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), New York, Amerika Serikat. Pertumbuhan ekonomi global diproyeksikan melambat dari sekitar 3,0 persen pada 2022 menjadi 1,9 persen pada 2023.
Foto: Republika TV/Irfan Junaidi
Kantor Pusat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), New York, Amerika Serikat. Pertumbuhan ekonomi global diproyeksikan melambat dari sekitar 3,0 persen pada 2022 menjadi 1,9 persen pada 2023.

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Pertumbuhan ekonomi global diproyeksikan melambat dari sekitar 3,0 persen pada 2022 menjadi 1,9 persen pada 2023. Perlambatan itu menandai salah satu tingkat pertumbuhan terendah dalam beberapa dekade terakhir, menurut laporan PBB yang diluncurkan pada Rabu (25/1/2023).

Laporan Situasi dan Prospek Ekonomi Dunia PBB 2023 memperkirakan pertumbuhan global akan meningkat secara moderat menjadi 2,7 persen pada 2024. Karena beberapa hambatan ekonomi makro diperkirakan akan mulai mereda tahun depan.

Baca Juga

Laporan tersebut meminta pemerintah-pemerintah untuk menghindari penghematan fiskal yang akan menghambat pertumbuhan dan secara tidak proporsional mempengaruhi kelompok yang paling rentan, mempengaruhi kemajuan dalam kesetaraan gender, dan menghalangi prospek pembangunan lintas generasi.

Direkomendasikan realokasi dan reprioritas pengeluaran publik melalui intervensi kebijakan langsung yang akan menciptakan lapangan kerja dan menghidupkan kembali pertumbuhan. Mengingat hal ini akan membutuhkan penguatan sistem perlindungan sosial, memastikan dukungan berkelanjutan melalui subsidi yang ditargetkan dan sementara, transfer tunai, dan diskon pada tagihan utilitas, yang dapat dilengkapi dengan pengurangan pajak konsumsi atau bea cukai.

 

Pandemi, krisis pangan dan energi global, risiko iklim, dan krisis utang yang menjulang di banyak negara berkembang sedang menguji batas kerangka kerja multilateral yang ada. "Kerja sama internasional tidak pernah lebih penting dari sekarang untuk menghadapi berbagai krisis global dan membawa dunia kembali ke jalurnya untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs)," tulis laporan itu.

Kebutuhan pembiayaan SDGs tambahan di negara-negara berkembang bervariasi menurut sumbernya, tetapi diperkirakan mencapai beberapa triliun dolar AS per tahun, menurut laporan tersebut.

Komitmen internasional yang lebih kuat, kata laporan itu, sangat dibutuhkan untuk memperluas akses ke bantuan keuangan darurat. Hal tersebut guna merestrukturisasi dan mengurangi beban utang di seluruh negara berkembang, dan meningkatkan pembiayaan SDG.

 

sumber : ANTARA
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement